30 desember tahun 2012 tepatnya hari Jumat. Sebuah berita mengenai kiamat menjadi pembicaraan hangat di seluruh dunia dan
berhasil membuat semua orang
panik. Saat itu mereka
berempat sedang memiliki banyak waktu kosong dan sepakat untuk mengadakan reuni di sebuah kedai
kopi di jalan Braga Kota Bandung. Hampir satu tahun mereka tenggelam
dalam kesibukan masing – masing dan tak pernah bertemu.
Kedai kopi ini bernuansa klasik dan memiliki suasana yang hangat. Lampu-lampu keemasan menyala lembut, kursi-kursi dan meja kayu bertebaran di seluruh ruangan. Dinding kedai kopi itu juga dibuat dari kayu yang dicat cokelat gelap, hiasan-hiasan dinding dipasang tak beraturan namun tampak indah. Musik yang memanjakan telinga tak pernah berhenti dimainkan, membuat semua orang yang berkunjung betah duduk berlama-lama disini. Putra yang pada saat itu membuka pembicaraan mengenai isu kiamat pada tahun ini membuat reuni ini menjadi sebuah pertemuan yang teramat akrab antara Eka, Sutisna dan Sisca, yang sudah lama sekali mereka tidak bertemu.
Kedai kopi ini bernuansa klasik dan memiliki suasana yang hangat. Lampu-lampu keemasan menyala lembut, kursi-kursi dan meja kayu bertebaran di seluruh ruangan. Dinding kedai kopi itu juga dibuat dari kayu yang dicat cokelat gelap, hiasan-hiasan dinding dipasang tak beraturan namun tampak indah. Musik yang memanjakan telinga tak pernah berhenti dimainkan, membuat semua orang yang berkunjung betah duduk berlama-lama disini. Putra yang pada saat itu membuka pembicaraan mengenai isu kiamat pada tahun ini membuat reuni ini menjadi sebuah pertemuan yang teramat akrab antara Eka, Sutisna dan Sisca, yang sudah lama sekali mereka tidak bertemu.
"gimana perkembangan berita kamu sekarang tis?" ungkap Putra sambil merapihkan jaket coklat yang biasa dia pakai.
"saya tidak habis pikir mengapa pemikiran suku maya, bisa mempengaruhi pemikiran kita yang sudah berada di zaman modern." ucap sutisna dengan perasaan yang menggebu - gebu di hadapan mereka bertiga, seperti kesal akan isu tersebut.
"setidaknya ada bahan berita heboh dong di media, biar gak agak garing juga acarannya haha," balas sisca sambil tertawa
"saya sedang coba bertaruh dengan kawan saya, jika tahun ini tidak terjadi kiamat. dia harus bayar saya nonton di Ciwalk empat film berturut - turut," balas Putra dengan santai, sambil mengambil secangkir kopinya.
disaat mereka ertiga sibuk membahas isu, Eka hanya tersenyum, karena keharuannya kepada suasana ini yang telah lama tidak melihat kawan lamanya berkumpul.
"tapi taruhan mu aneh juga tra, kalo lantas terjadi kiamat kamu bisa bayar apa kedia. kita pasti bakal mikirin hidup kita masing - masing, untung bego juga kawan kamu itu," sisca menepis pembicaraan Putra. Sutisna yang sedang menyimak pembicaraan Putra dan Sisca, dia juga memperhatikan Eka yang pasif pada saat itu.
"heh ka, kenapa kamu hanya tersenyum saja"
"lanjutkan saja obrolan kalian, saya hanya sedang menikmati momen kumpulan kali ini,"
"wah gak asik nih Eka ini, yaudah kita lanjut. eh sekarang gimana cewe kamu yang disana itu Tis?"
Mereka bercakap-cakap dalam waktu yang lama. Puluhan pelanggan datang dan pergi
secara bergantian. Waktu berjalan sangat cepat. Jam di
kedai itu menunjukan pukul 23.35 WIB. Mereka tidak sadar bahwa pelanggan yang tersisa hanya tinggal mereka. Seorang pelayan menghampiri mereka dan mengingatkan bahwa kedai itu
sudah mau tutup.
Karena sudah terlalu malam mereka berencana
untuk menginap di suatu tempat. namun Sutisna mulai mempermasalahkan lokasi penginapan.
"kosan saya maaf broh, tidak bisa di tempati oleh wanita. saya tidak mau kena masalah sama ibu kos," Sutisna tiba - tiba saja merubah suasana menjadi tambah bingung pada saat itu.
"idih kepedean banget kamu bilang kaya gitu, santai aja lagi," saut Sisca yang kurang suka dengan kalimat Sutisna. mereka bertiga dilanda kebingangan, Namun sebenarnya Sisca telah memperhitungkan kemungkinan pulang telat. maka pada saat mereka berempat berbincang di kedai kopi. Sisca telah memesan kamar di sebuah hotel sekitar jalan Braga untuk bermalam. Kebetulan dia memiliki teman yang membuka usaha hotel di Kota Bandung ini, jadi harga kamar di hotel tersebut bisa sedikit miring. "ya sudah kalian tidak perlu bingung, saya telpon teman dulu ya," Sisca bergegas mengambil handphonenya untuk memesan 2 kamar yang berdekatan. Dia menelpon temannya, Eldas. Eldas adalah seorang putri dari pemilik Hotel Aston braga and resident. Terlahir sebagai anak orang kaya, Eldas adalah seorang yang royal dan tipe orang yang suka pilih-pilih teman. Temannya tidak banyak, namun hampir semua berasal dari kalangan sosial yang sama dengan dirinya.
"kosan saya maaf broh, tidak bisa di tempati oleh wanita. saya tidak mau kena masalah sama ibu kos," Sutisna tiba - tiba saja merubah suasana menjadi tambah bingung pada saat itu.
"idih kepedean banget kamu bilang kaya gitu, santai aja lagi," saut Sisca yang kurang suka dengan kalimat Sutisna. mereka bertiga dilanda kebingangan, Namun sebenarnya Sisca telah memperhitungkan kemungkinan pulang telat. maka pada saat mereka berempat berbincang di kedai kopi. Sisca telah memesan kamar di sebuah hotel sekitar jalan Braga untuk bermalam. Kebetulan dia memiliki teman yang membuka usaha hotel di Kota Bandung ini, jadi harga kamar di hotel tersebut bisa sedikit miring. "ya sudah kalian tidak perlu bingung, saya telpon teman dulu ya," Sisca bergegas mengambil handphonenya untuk memesan 2 kamar yang berdekatan. Dia menelpon temannya, Eldas. Eldas adalah seorang putri dari pemilik Hotel Aston braga and resident. Terlahir sebagai anak orang kaya, Eldas adalah seorang yang royal dan tipe orang yang suka pilih-pilih teman. Temannya tidak banyak, namun hampir semua berasal dari kalangan sosial yang sama dengan dirinya.
“Eldas, maaf ganggu istirahatnya. kamarnya jadi saya pesan ya untuk malam ini, kita langsung kesana sekarang," Siscapun langsung menutup telponnya.
"orang ini ternyata sudah berkembang menjadi penyihir selama ini ya," Sutisna yang kagum dengan sikap Sisca.
"ayo kita segera berangkat, takut kemaleman lagi," ucap Sisca kepada ketiga temannya.
"emang kamu sudah pesan penginapan dimana?" ucap Putra, "sudah ikutin saja saya, yang penting malem ini kita bisa nyaman istirahat,". akhirnya mereka bergegas berangkat menuju penginapan dengan kendaraan motonya masing - masing. setelah sesampai disana, tepat dijalan masuk ke Hotel Aston, Sutisna mengajak menekan klakson, yang membuat mereka mendadak berhenti. Sutisna,
"kita kesini sekarang? apa kamu tidak sedikit gila, memesan Hotel Aston?" ucap Sutisna, "sorry gua bukan tipe orang yang gampang ngamburin gaji untuk poya - poya seperi ini, lebih baik saya maksain balik,". dia lanjut memperumit suasana pada malam iu.
Motor Eka mendekati Sisca, lalu dia berbisik kepadanya "kamu serius kita menginap disini, sis?".
"udah jangan banyak nanya, kalian mau istirahat nyaman disini ikut saya sini, kalo engga silahkan terserah kalian. saya udah males debat lagi, pengen istirahat," Siscapun menjawabnya dengan nada penuh kesal.
terpaksa mereka berempat harus nurut dengan pilihan Sisca. setelah masuk, tiba - tiba datang pelayan yang cantik menghampiri Sisca.
"Selamat malam, saya dengan Rina. apakah benar ini dengan mba Sisca yang memesan 2 kamar VIP ya?" ucap pelayan kepada Sisca.
Eka, Sutisna dan Putra sontak terkejut, Sutisna langsung mengambil dompet dari sakunya. Putra menelan ludah, sedangkan Eka tidak begitu banyak tingkah.
"ia benar sekali, saya tadi sudah pesan ke Eldas ya," ucap Sisca yang tiba - tiba nadanya menjadi lembutkepada pelayan. "berati saya tidak salah, ini kuncinya untuk kamar VIPnya, mau saya antarkan?" tanya Rina.
"tidak usah saya sudah paham tempat ini,"
Sisca berjalan menuju lift, mereka bertigapun mengikutinya. Sutisna dan Putra berjalan, sambil tersenyum - senyum kepada si pelayannya. "ngapain sih kalian ini malu - maluin aja," Ucap Eka sambil mendorong - dorong mereka berdua. Si pelayan itu membalas senyum juga kepada mereka berdua.
"ingat ini kamar saya sendiri, kalian disana bertiga. jangan ada yang ganggu,"
"serem bener, ibu Sisca ini," balas Sutisna
"ayo kita segera berangkat, takut kemaleman lagi," ucap Sisca kepada ketiga temannya.
"emang kamu sudah pesan penginapan dimana?" ucap Putra, "sudah ikutin saja saya, yang penting malem ini kita bisa nyaman istirahat,". akhirnya mereka bergegas berangkat menuju penginapan dengan kendaraan motonya masing - masing. setelah sesampai disana, tepat dijalan masuk ke Hotel Aston, Sutisna mengajak menekan klakson, yang membuat mereka mendadak berhenti. Sutisna,
"kita kesini sekarang? apa kamu tidak sedikit gila, memesan Hotel Aston?" ucap Sutisna, "sorry gua bukan tipe orang yang gampang ngamburin gaji untuk poya - poya seperi ini, lebih baik saya maksain balik,". dia lanjut memperumit suasana pada malam iu.
Motor Eka mendekati Sisca, lalu dia berbisik kepadanya "kamu serius kita menginap disini, sis?".
"udah jangan banyak nanya, kalian mau istirahat nyaman disini ikut saya sini, kalo engga silahkan terserah kalian. saya udah males debat lagi, pengen istirahat," Siscapun menjawabnya dengan nada penuh kesal.
terpaksa mereka berempat harus nurut dengan pilihan Sisca. setelah masuk, tiba - tiba datang pelayan yang cantik menghampiri Sisca.
"Selamat malam, saya dengan Rina. apakah benar ini dengan mba Sisca yang memesan 2 kamar VIP ya?" ucap pelayan kepada Sisca.
Eka, Sutisna dan Putra sontak terkejut, Sutisna langsung mengambil dompet dari sakunya. Putra menelan ludah, sedangkan Eka tidak begitu banyak tingkah.
"ia benar sekali, saya tadi sudah pesan ke Eldas ya," ucap Sisca yang tiba - tiba nadanya menjadi lembutkepada pelayan. "berati saya tidak salah, ini kuncinya untuk kamar VIPnya, mau saya antarkan?" tanya Rina.
"tidak usah saya sudah paham tempat ini,"
Sisca berjalan menuju lift, mereka bertigapun mengikutinya. Sutisna dan Putra berjalan, sambil tersenyum - senyum kepada si pelayannya. "ngapain sih kalian ini malu - maluin aja," Ucap Eka sambil mendorong - dorong mereka berdua. Si pelayan itu membalas senyum juga kepada mereka berdua.
"ingat ini kamar saya sendiri, kalian disana bertiga. jangan ada yang ganggu,"
"serem bener, ibu Sisca ini," balas Sutisna
Setelah mereka masuk ke kamar masing-masing mereka langsung beristirahat dengan nyenyak disana.
Tepat pukul 03.00 WIB Eka terbangun dari tidur nyenyaknya. Kebiasaannya yang selalu bangun pagi terlatih dari kesehariannya menjadi mahasiswa kedokteran. Seringkali dia harus bangun sepagi itu untuk menghapal suatu materi. Padahal Putra dengan Sutisna pada waktu itu sudah tidak sadarkan diri, mereka begitu nyenyak tidur. Ketika Eka berjalan menuju kamar mandi, matanya yang masih sedikit mengantuk, tiba - tiba disilaukan dengan cahaya berwarna merah dari luar jendela. Eka pun dengan sekejap membuka matanya lebar-lebar dan berjalan ke arah jendela. Sinar kemerahan itu menyilaukan matanya, membuat penglihatannya kurang jelas. Eka tak bisa melihat sumber cahaya itu berasal dari mana.
Tepat pukul 03.00 WIB Eka terbangun dari tidur nyenyaknya. Kebiasaannya yang selalu bangun pagi terlatih dari kesehariannya menjadi mahasiswa kedokteran. Seringkali dia harus bangun sepagi itu untuk menghapal suatu materi. Padahal Putra dengan Sutisna pada waktu itu sudah tidak sadarkan diri, mereka begitu nyenyak tidur. Ketika Eka berjalan menuju kamar mandi, matanya yang masih sedikit mengantuk, tiba - tiba disilaukan dengan cahaya berwarna merah dari luar jendela. Eka pun dengan sekejap membuka matanya lebar-lebar dan berjalan ke arah jendela. Sinar kemerahan itu menyilaukan matanya, membuat penglihatannya kurang jelas. Eka tak bisa melihat sumber cahaya itu berasal dari mana.
Rasa penasaran Eka yang begitu
besar membuatnya memilih untuk keluar dari hotel memastikan dari mana cahaya itu berasal. Udara Bandung yang dingin
berhembus, menerpa wajahnya, membuat tubuhnya menggigil. Jalanan sepi, hanya
satu dua kendaraan yang lewat. Dua orang satpam yang berjaga menahan kantuk
dengan bermain catur.
“Maaf pak, barusan lihat cahaya merah gak
disekitar sini?” Tanya Eka. Napasnya masih tersengal karena
berlari saat menuruni tangga.
“Cahaya merah? Banyak sekali cahaya
berwarna merah
disini! Lampu taman itu juga berwarna merah,” satpam itu menjawab dengan ketus dan acuh tak acuh.
“Enggak, barusan saya kaget karena dari luar jendela
tiba – tiba ada cahaya merah yang menyorot ke arah saya. Kalo saya gak salah lihat dari sekitar sini,” Eka mencoba menjelaskan.
“Mungkin itu Cuma cahaya lampu laser, biasanya anak - anak sini sering jail. kita disini gak
melihat apa – apa kok dari tadi. Tenang saja, kita disini akan berjaga. Kalau ada apa – apa itu urusan kita
disini,” ucap satpam yang
satu lagi.
Eka merasa belum puas
dengan jawaban
satpam tadi. Dia yakin ada sesuatu disana
tapi satpam itu tidak memperhatikannya. Dia memutuskan untuk kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya.
Keesokan harinya cuaca pagi terasa begitu segar. Langit tampak biru muda kekuningan
karena menunggu mentari yang belum bersinar sempurna. Pagi itu seorang mengetuk pintu, Sutisna bangun pertama pada saat itu, lalu dia membangunkan Eka dan Putra.
"bangun woy, sewa kamar kita sudah habis. cepet bangun, telat nanti kita bisa kena cash lagi,". Sutisna langsung membereskan keperluannya, juga langsung meraphkan kasurnya. suara ketukan pintu kembali berbunyi. kali ini Eka dan Putra telah terbangun.
"tumben amat, kamu beres - beres tis?' ucap Putra.
"Sudah cepetan bangun, itu sudah ada yang ngetuk pintu,"
ketukan pintu terakhir ini, bunyinya sangat keras sekali. Eka yang sedikit kesal karena tidurnya terganggu dia langsung menuju ke pintu. pada saat Eka mau membukakan kunci, Sutisnapun tiba - tiba berteriak.
"jangan di buka,"
"ada apa si tis, aneh banget kamu,"
"kita harus sadar, kita kesini bawa duit pas - pasan. terus ada orang di balik pintu itu yang mengetuk berkali - kali. apakah kalian tidak berpikir kalo, nanti pas kamu buka itu pintu, dia langsung minta tagihan Hotel. saya tidak bisa, tidak,"
"ah kamu aneh tis, udah saya buka ya,"
setelah pintu itu terbuka, ternyata apa yang dipikirkan Sutisna melenceng sangat jauh. ternyata di balik seseorang yang mengetuk - ngetuk pintu itu adalah seorang wanita asing yang cantik. parasnya sudah hampir mirip dengan asrtis papan atas.
"halo, selamat pagi semuanya,"
mereka bertiga langsung bengong, seakan - akan melihat sebuah bidadari yang langsung berada di hadapannya. beberapa saat kemudian, Sisca muncul tepat di belakang perempuan tersebut. sepertinya dia sudah dari tadi berada disana.
"hi, kalian cepet bangun kita sarapan. oh ia kenalin ini, teman saya, anak yang punya hotel ini. namanya Eldas,"
mereka bertiga hanya melambaikan tangan dan mengatakan, "hi," sambil tersenyum.
Mereka berlima berangkat menuju ruag makan, pelayan disana telah menyiapkan sarapan spesial untuk Sisca dan kawan-kawannya. Ini merupakan permulaan hari yang indah.
"bangun woy, sewa kamar kita sudah habis. cepet bangun, telat nanti kita bisa kena cash lagi,". Sutisna langsung membereskan keperluannya, juga langsung meraphkan kasurnya. suara ketukan pintu kembali berbunyi. kali ini Eka dan Putra telah terbangun.
"tumben amat, kamu beres - beres tis?' ucap Putra.
"Sudah cepetan bangun, itu sudah ada yang ngetuk pintu,"
ketukan pintu terakhir ini, bunyinya sangat keras sekali. Eka yang sedikit kesal karena tidurnya terganggu dia langsung menuju ke pintu. pada saat Eka mau membukakan kunci, Sutisnapun tiba - tiba berteriak.
"jangan di buka,"
"ada apa si tis, aneh banget kamu,"
"kita harus sadar, kita kesini bawa duit pas - pasan. terus ada orang di balik pintu itu yang mengetuk berkali - kali. apakah kalian tidak berpikir kalo, nanti pas kamu buka itu pintu, dia langsung minta tagihan Hotel. saya tidak bisa, tidak,"
"ah kamu aneh tis, udah saya buka ya,"
setelah pintu itu terbuka, ternyata apa yang dipikirkan Sutisna melenceng sangat jauh. ternyata di balik seseorang yang mengetuk - ngetuk pintu itu adalah seorang wanita asing yang cantik. parasnya sudah hampir mirip dengan asrtis papan atas.
"halo, selamat pagi semuanya,"
mereka bertiga langsung bengong, seakan - akan melihat sebuah bidadari yang langsung berada di hadapannya. beberapa saat kemudian, Sisca muncul tepat di belakang perempuan tersebut. sepertinya dia sudah dari tadi berada disana.
"hi, kalian cepet bangun kita sarapan. oh ia kenalin ini, teman saya, anak yang punya hotel ini. namanya Eldas,"
mereka bertiga hanya melambaikan tangan dan mengatakan, "hi," sambil tersenyum.
Mereka berlima berangkat menuju ruag makan, pelayan disana telah menyiapkan sarapan spesial untuk Sisca dan kawan-kawannya. Ini merupakan permulaan hari yang indah.
“Ayo nyamanin diri kalian ya, awas habiskan sarapannya! Saya telah meminta untuk menyiapkan hidangan
sarapan spesial khas hotel ini khusus buat kalian,” ucap Eldas sambil tersenyum.
Begitulah cara Eldas
menjamu kawan yang dipercayainya. Namun jangan salah, dibalik keramahannya Eldas adalah tipe
orang yang
mudah marah jika suasana moodnya sedang tidak baik.
Putra, Sutisna dan Eka
sangat senang dengan pelayanan yang mewah seperti ini, karena ini merupakan pertama kalinya untuk mereka.
“Terima kasih Eldas. Bagaimana kalau kita makan berlima saja,” Putra mencoba membalas keramahan Eldas.
“Baiklah kalau bisa membuat kalian bersedia, tapi saya tidak
biasa sarapan jam segini. Saya hanya minum kopi saja untuk jam segini,” jawab Eldas.
Mereka duduk berlima di satu meja makan.
Hidangan-hidangan di meja itu satu-persatu tandas. Eldas rupanya tidak
berbohong soal hidangan spesial, karena makanan itu memang enak.
Saat mereka asyik sarapan, tiba-tiba ada seorang laki-laki berkacamata hitam membawa
koper yang di rantaikan di tangan kirinya berjalan-melewati mereka-menuju keluar. Rambut hitam bermodel spike,
berpakaian rapi mengenakan jaket kulit berwarna
hitam, celana jins hitam dan sepatu
gunung berwarna coklat tua. Mungkin ini terlihat biasa saja jika dilihat sekilas, namun Putra melihat ada robekan panjang hingga ke
belakang badan yang tidak biasa di jaket bagian bahu sebelah kirinya, seperti goresan senjata
tajam. Anehnya, hal
itu tidak
begitu di hiraukan oleh orang-orang yang ada disini, suasana di tempat sarapan tidak
sedikitpun berubah.
“Bagaimana kalian bisa bersama-sama seperti ini?” Eldas mencoba untuk membuka
pembicaraan.
“Kami berempat
sebenarnya adalah teman SMA. Kami selalu mengadakan reuni seperti ini. Mungkin ini
bisa disebut semacam ritual untuk
mempererat hubungan kami,” Putra menjawab pertanyaan Eldas sambil
menyendok omelet di piringnya.
“Kamu bisa sebaik ini dengan kami,
padahal kami baru saja kenal dengan kamu,” Sutisna ikut nimbrung.
“Kalian sangat beruntung punya
teman seperti Sisca. Dia orang yang baik.
Dia banyak menolong saat kami satu perjuangan di dunia model,” Eldas menimpali sambil melirik ke arah
Sisca. Sisca hanya tersenyum kecil.
“Setuju saya kalo
Sisca itu orangnya baik,” ucap Eka sambil mengunyah santapannya
“udah kamu abisin
dulu makanan di mulutnya,” ucap Sisca
Banyak pembicaraan
yang menarik di
meja makan pagi ini. Mereka berlima menjadi dekat dengan sendirinya. Eldas cukup ramah
kepada mereka berempat, mungkin karena Eldas sangat dekat dengan Sisca sehingga
dia beranggapan bahwa teman-teman Sisca cukup berkelas untuk satu meja makan
dan ngobrol dengannya.
Setelah sarapan Eldas
mengajak mereka berempat untuk jalan-jalan di sekitar jalan Braga dan jalan Asia Afrika
dengan berjalan kaki. Sambil berfoto – foto mereka becanda dan tertawa
sepanjang
perjalanan melihat ulah Sutisna yang konyol. Hingga di pintu depan gedung Asia
Afrika mereka bertemu dengan seorang kakek tua yang sedang berdiri sambil
menundukan kepalanya. Kakek itu terlihat seperti sangat kelelahan, seluruh badannya dibanjiri keringat, napasnya cepat seperti habis berlari jauh.
Sisca yang iba melihat kakek itu lalu
menghampirinya. Sisca takut kalau kakek itu sudah pikun dan tersesat atau
sedang sakit dan butuh pertolongan.
“Lagi ngapain kek di pinggir
jalan?” ucap Sisca
Tiba – tiba mulut kakek
itu bergerak, lalu mengucapkan sesuatu dalam bahasa Sunda yang
terdengar kasar.
“Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung.”
“maksudnya apa kek?” Sisca bertanya sambil mengernyitkan
dahi dan sedikit takut.
Kakek itu langsung
berjalan cepat mengamipir Eka dan memegang pundaknya. pada saat kakek itu memegang pundak, tiba - tiba terasa seperti ada yang masuk ke tubuh Eka secara tba - tiba. lalu pandangan Eka melihat ke sekeliling menjadi sangat lambat dan juga warnanya berubah menjadi warna merah. jantung dia tiba - tiba berdetak sangat kencang, tubuhnya seolah - olah di lumuri oleh salju. semua anggota tubuhnya sama sekali terasa kebas.
“Aki nitipkeun ieu benda, jagaan sing
hade ulah nepi ka dipiceun atawa dijual. Omat pisan,” kakek itu bicara sangat pelan
dan terburu-buru. Mereka hampir tak bisa menangkap kata-kata yang diucapkannya.
Tiba – tiba Kakek itu menggenggam telapak
tangan Eka dan memberikan sebuah batu akik berwarna merah terang. Sutisna yang memahami bahasa
Sunda langsung
bertanya.
“Ieu teh kangge naon, Ki?” ucap Sutisna
Kakek itu mengalihkan pandangannya lalu berjalan
ke arah barat dengan tenang. Mereka berlima terus memanggil si kakek, namun
kakek itu seperti tuli. Dia tidak menoleh apalagi
menghiraukan mereka. Perhatian mereka berpindah dari
kakek itu ke Eka yang
tiba-tiba pandangannya kosong, matanya melotot dan seluruh tubuhnya bergetar seperti tersengat lisrik. Sisca, Eldas, Sutisna
dan Putra pun kaget mellihat kondisi Eka yang seperti orang Epilepsi itu. Selang beberapa detik kondisi Eka kembali Normal. Namun, saat mereka kembali mencari si kakek, kakek itu sudah lenyap entah kemana.
“Saya seperti melihat sebuah padang rumput yang luas dan
sungai yang indah, lalu ada beberapa pria tinggi dan kekar, entah berapa jumlahnya. Mungkin puluhan. Mereka sedang membangun sebuah
rumah yang sangat besar dari kayu. Banyak cahaya yang sangat terang dari berbagai
arah, lalu cahayanya seperti api, dengan sekejap rumah yang dibangun hilang tanpa jejak dengan seketika.Entah apa artinya ini,” Eka menjelaskan panjang lebar.
Mereka berempat saling berpandangan. Eldas
tampak ketakutan dan merapat ke dekat Sisca. Kejadian yang tidak biasa ini
mulai menimbulkan banyak pertanyaan. Eka membuka telapak tangannya yang sedari tadi menggenggam
sebuah Batu.
Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian semalam? Batin Eka.
Setelah kejadian aneh itu, mereka bergegas kembali menuju hotel untuk check out. Putra, Sutisna, Eka dan Sisca mengucapkan banyak terima kasih kepada Eldas atas semua kebaikannya.
Setelah kejadian aneh itu, mereka bergegas kembali menuju hotel untuk check out. Putra, Sutisna, Eka dan Sisca mengucapkan banyak terima kasih kepada Eldas atas semua kebaikannya.
“Saya berharap kita bisa bersama
lagi di lain waktu,” ucap Eldas tulus.
Dalam perjalan keluar
meninggalkan Hotel, Putra melihat pria berjaket hitam yang lewat ketika mereka sedang sarapan tadi pagi. Pria itu sedang menelepon di bawah pohon seberang Hotel Aston. Entah mengapa meskipun pria tersebut menelepon namun pandangannya selalu tertuju pada Eka.
“Sob, kita sekarang lanjut pulang saja. Kalian masih belum ada kesibukan kan, sekarang?” Putra bertanya sambil tetap
memerhatikan pria berjaket itu.
“Saya Cuma ngerjain revisi skripsi saja sih,” jawab Eka tanpa menoleh. Eka tampak sibuk menjawab pesan di
handphonenya.
“Saya besok harus ngeliput kemajuan
proyek pembangunan di daerah Gede bage,” ucap Sutisna.
“Saya juga sama, ada pemotretan di
daerah Lembang,” Sisca bicara sambil memainkan jarinya,
menirukan seseorang yang sedang memotret.
“Ya udah, saya bareng numpang nginep di rumah Eka aja, gak apa-apa kan, Ka?” Putra minta izin Eka untuk dapat tumpangan sementara.
“Boleh aja sih, lagian jarang ada orang di
kontrakan saya,” Eka tak mengalihkan pandangannya dari layar
handphone.
Putra sebenarnya
hanya ingin tahu, apa yang sedang direncanakan oleh pria berkacamata hitam itu. Dia sudah mencurigainya sejak
pagi tadi dan khawatir kalau Eka sedang dalam bahaya.
mereka langsung menuju parkiran untuk mengambil motornya masing - masing. Sisca dan Sutisna
berangkat ke tempat tujuan masing-masing, sedangkan Eka dan Putra pergi ke kontrakan Eka di daerah
Cihampelas. Dalam
perjalanan menuju rumah Eka, Putra diam-diam memperhatikan gerak-gerik Pria tersebut. Namun pria
ini tidak beranjak dari tempatnya dan
tidak mengikuti mereka
seperti
yang dipikirkan Putra.
Bandung adalah salah
satu kota besar, perkembangan dan pembangunan yang terus maju di kota ini
membuat orang-orang dari luar
daerah tertarik untuk
mengunjunginya. Kota besar pastinya
memiliki tempat-tempat andalan, tempat andalan Bandung salah satunya adalah Jalan Cihampelas. Tempat
ini tidak pernah sepi dari pengunjung luar kota maupun dalam kota. Eka pernah mengatakan kalau tempat ini sering disebut “infinity walk” karena hampir setiap jam di daerah
ini tak pernah sunyi dari penjalan kaki ataupun kendaraan yang lalu-lalang. Sebuah keuntungan bagi
Eka untuk
mengontrak sebuah rumah disini karena angka kemalingan yang sangat jarang.
Putra dan Eka sampai di kontrakan. Putra yang masih memikirkan
pria itu, sesekali melirik ke belakang untuk memastikan pria itu
benar-benar tidak membuntuti mereka.
Apakah saya terlalu berlebihan dengan apa yang ada dipikirkan ini mengenai pria tadi? Batin Putra.
walaupun sudah berada didalam kontrakan,
Putra masih terlihat cemas. Gerak-gerik Putra yang terus menengok ke luar jendela membuat Eka penasaran.
“Kenapa kamu? Eka rasa ada yang aneh
dari cara kamu yang terus-terusan memandang keluar jendela. Tenang aja penduduk
disini pada baik,” Eka berusaha menenangkan Putra.
Putra berusaha untuk merahasiakan
kejadian ini dari Eka. Dia tak ingin membuat Eka cemas dan mengganggu konsentrasinya untuk mengerjakan skripsi.
Eka mengalihkan perhatiannya sejenak
dari pikiran tentang pria misterius itu. Matanya menyapu ruangan, memperhatikan
setiap sudut kontrakan Eka. Kontrakan itu cukup luas untuk ditempati sendirian. Ada
dua kamar yang dipisahkan oleh sebuah kamar mandi. Sebuah ruang tamu dengan
sofa warna coklat muda dan meja persegi, ruangan untuk nonton televisi, serta
dapur yang terlihat jarang digunakan oleh Eka.
Putra melongok ke halaman kontrakan itu,
disitu terdapat bunga-bunga
dalam pot yang tak terurus, rumput-rumput tumbuh tinggi yang entah kapan
terakhir kali dipotong dan sebuah lampu bernuansa retro yang mencolok.
“Lampu itu unik sekali ka,” Putra mengalihkan pembicaraan dari pria
misterius itu dan mulai menanyakan lampu taman yang sebenarnya tidak begitu
menarik baginya.
“Oh lampu itu? Ada peraturan aneh yang dibuat oleh pemilik
kontrakan. Katanya penghuni kontrakan harus menyalakan lampu itu setiap pukul
20.00 WIB. Entah apa
tujuannya saya juga gak ngerti, tapi saya ikuti saja takutnya jadi masalah kalau dilanggar,” Saya
menjelaskan sambil mencari sesuatu di tumpukan kertas di sebuah rak buku.
“Oh iya saya mau ngerjain skripsi dulu,
kamu bebas ngapain aja disini tolong jangan ganggu dulu allright?” Eka menambahkan.
Putra langsung pergi
ke ruangan tengah untuk menyalakan televisi. Tidak lama kemudian ada suara
ketukan dari pintu depan sebanyak tiga kali. Putra langsung mematikan televisinya dan menaruh remotnya di kursi. Dengan cepat Putra kembali ke ruang tamu mengambil pemukul baseball yang ada di bawah meja untuk
berjaga-jaga. Dia menuju ke sumber suara dengan
langkah kaki yang pelan dan pemukul baseball yang digenggam dengan sangat kuat. Sesampainya di pintu, dia tidak langsung
membukakan pintunya. Putra dengan hati yang tegang, mengintip melalui jendela di sebelah kanan
pintu. Di depan pintu tampak seseorang dengan sweeter hitam sedang membungkuk seperti hendak mengambil sesuatu. Putra yang sudah bersiap untuk bersikap kasar pada orang di depan pintu
langsung membuka pintu dengan cepat. Ketika pintu terbuka dan tongkat beseball yang digenggamnya sudah siap dipukulkan, ternyata seseorang yang ada di depan pintu itu
adalah seorang wanita. Wanita
itu tampak terkejut dan melangkah mundur menjauhi Putra. Putra pun langsung
menahan gerakannya, dengan muka malu.
“K-kamu siapa? Ini maksudnya apa?” wanita di depan pintu bertanya dengan tergagap.
“Oh maaf, saya kira siapa. Perkenalkan saya
Putra, teman dekatnya Saya,” Putra cepat-cepat minta maaf.
Wanita itu masih terlihat syok dan ketakutan.
Permintaan maaf Putra tidak ia hiraukan.
“Ekaaaa! Ekaaa!” Wanita itu berteriak dua kali
dengan keras memanggil Eka dari tempatnya berdiri.
Putra merasa bersalah telah menakuti wanita
itu. Tampaknya wanita itu tidak memercayai apa yang putra katakan bahwa putra
adalah teman baik Eka. Putra diam saja melihat wanita itu berteriak memanggil Eka. Dia berharap Eka segera keluar dan membantunya
menjelaskan kesalahpahaman ini.
“Oh Selly? Gimana tugasnya udah selesai?” Eka tampak santai menyapa Selly. Lalu
ekspresinya langsung berubah ketika melihat Putra yang membawa pemukul
baseball.
“Kamu gak percaya apa yang aku bilang tadi?
Hampir dua tahun saya tinggal disini dan tidak pernah ada kasus kriminal
apapun. Jangan bikin Selly takut dong!” Eka menyadari kecemasan Putra. Tapi dia masih
belum tahu apa yang membuat temannya sampai melakukan hal seperti itu. Dia
harus meminta penjelasan, tapi nanti setelah Selly cukup tenang.
Ternyata wanita itu adalah teman kampusnya Eka. Namanya Selly. Selly adalah wanita yang terkenal modis.
Dia juga seorang mahasiswa
kedokteran seperti Eka. Tempat tinggalnya tidak jauh dari
sini.
Setelah diajak masuk dan diyakinkan bahwa
putra adalah teman baik Eka, Selly bicara dengan nada yang sangat pelan pada Eka.
“Itu yang di depan siapa? Tiba-tiba dia membukakan pintu dengan
kasar. Hampir aja saya di
pukul olehnya,”
“Itu Putra, teman saya. Entahlah, dia kelihatan cemas
sejak tadi pagi. Tunggu sebentar!” Eka memberikan segelas air putih dan meminta Selly
menunggunya di ruang tengah, sementara dia menemui Putra yang masih berdiri dekat
pintu.
Eka menanyakan tentang kejadian
tadi. Dia penasaran apa yang membuat putra begitu cemas. Putra tidak menjawab dan malah tertawa
sendiri. Putra tertawa karena dia tidak bisa menahan malu atas perbuatan bodoh yang baru saja
dilakukannya. Eka terus mendesak putra untuk menceritakan
semuanya, namun Putra masih mampu untuk mengelak dari setiap pertanyaan yang diiberikan oleh Eka. Putra masih belum mau mengatakan yang
sebenarnya.
“Saya kira itu Sisca atau Eldas,
tadinya saya mau ngasih kejutan,” ucap Putra berbohong.
Eka yang mendengar
jawaban aneh
itu akhirnya menyerah dan berhenti bertanya. Lalu saya pergi ke ruang tengah untuk
bergabung bersama Selly.
Sebenarnya selain teman kuliah Selly adalah salah satu partner bisnis Eka. Orang tua Selly adalah salah satu pemilik saham terbesar di sebuah perusahaan yang ada di pulau Papua. Mereka
tengah
menjalankan sebuah bisnis Susu Murni di suatu tempat di daerah Dago. Mereka
berencana untuk membesarkan bisnisnya dengan membangunnya
menjadi sebuah café Susu murni bernuansa peternakan Sapi. Eka dan Selly asyik membicarakan bisnis mereka
sedangkan Putra hanya menyimak. Selly sudah kelihatan tidak takut pada Putra
dan melupakan kejadian tadi.
“Maaf saya memotong pembicaraan kalian, kebetulan orang tua
saya seorang penjual tumbuhan. Mereka juga menjual banyak sekali jenis-jenis tumbuhan yang cocok buat jadi dekor café
yang kalian rencanakan,”
tiba-tiba saja Putra ikut dalam perbincangan mereka. Putra sedang berusaha
lebih akrab dengan Selly.
Eka yang menyukai
nuansa alam, dia merasa tertarik dengan tawaran dan ide yang Putra berikan.
“Ya udah kita buat konsepnya. Kebetulan teman saya seorang
arsitek lulusan UNPAR dan dia siap membantu,” Selly menyambut baik usulan Putra.
Pembicaraan mengenai
Bisnis ini semakin menarik, mereka sudah terlihat akrab dan bisa bekerjasama dengan baik hingga
lupa akan waktu. Di tengah – tengah asyiknya pembicaraan, tidak sengaja remote yang Putra taruh di kursi terduduki oleh Eka dan membuat layar televisi
menyala. Sontak mereka
kaget
karena mengira kalau
layar
televisi menyala dengan sendirinya. Setelah Eka menyadari bahwa ramot televisi itu tak sengaja
didudukinya, di mengambil
remot itu dan mereka bertiga tertawa.
Putra menyuruh Eka untuk mematikan televisi
karena merasa bahwa
suaranya akan mengganggu diskusi mereka. Namun saat Eka mau mematikan
televisi, Putra tiba-tiba
merebut remote dari tangan Eka.
“Sebentar jangan dulu di matikan, Ka coba lihat beritanya,” pinta Putra.
Tayangan di televisi
ini membuat mereka berdua terkejut, Selly yang tidak tahu apa-apa menatap layar televisi dengan bingung.
“Serius ini Tra?” tanya Eka tak percaya.
“Tunggu! Jangan bicara dulu. Kita lihat beritanya sampai
selesai,”
Putra terlihat serius.
Berita yang ditayangkan
adalah mengenai Hotel Aston yang malam kemarin mereka jadikan tempat menginap.
“Saya memang sudah satu minggu
tidak di Bandung karena ada urusan bisnis di luar
kota. Biasanya saya percayakan kepada rekan kerja dan putri saya untuk mengelola Hotel
ini. Saya juga memiliki sistem keamanan yang cukup ketat,”
ucap laki-laki di televisi.
Tampaknya laki-laki itu adalah pemilik Hotel Aston, ayahnya Eldas. Wajah laki-laki
itu tampak gusar dan penuh kekhawatiran, bibirnya bergetar saat berkata-kata di
mikrofon yang disodorkan wartawan.
“Mungkinkah itu ayahnya Eldas?” tanya Eka.
“Sepertinya begitu. Saya akan coba hubungi Sisca
terlebih dahulu,” Putra
meraih handphonenya dan langsung menelepon Sisca.
Sisca tidak menjawab
setelah puluhan kali di telpon, begitu juga Sutisna. Pada saat itu mereka
berdua sepertinya sedang sibuk dengan
kegiatannya masing-masing. Akhirnya Putra mengirim
SMS ke mereka bedua mengenai kejadian yang baru saja tampil di layar televisi.
Tak lama
kemudian Sutisna menelepon Eka.
“Ada apa Ka? Gila ada sepuluh panggilan tidak
terjawab. Berita
di televisi itu beneran?” Sutisna kaget dikirimi berita seperti
itu.
“Barusan saya sama Putra melihat berita
mengenai hilangnya Eldas, dia hilang beberapa jam yang lalu,” ucap
Putra.
Sutisna yang masih di berada di Gede bage ingin segera bertemu dengan Eka dan putra, sayangnya Sutisna tidak bisa mempertaruhkan
karirnya. Dia harus membuat sebuah berita mengenai bapak walikota untuk membahas mengenai Bandung Teknopolis di kawasan Gede bage, dan berita ini
harus tersebar untuk hari esok.
“Maaf saya lagi di
tengah kesibukan, bukannya kurang peduli, tapi ini masalah karir saya pribadi.
Saya harus meliput berita yang teramat penting ini untuk saya sebarkan besok.
Gimana kalo nanti malem kita ketemuan aja di Asia Afrika, gimana? Kasih tahu Sisca juga,” Sutisna kemudian menutup telepon setelah
Eka dan Putra setuju dengan usulnya.
Selly yang tak mengerti dengan
percakapan serius mereka dengan iseng memindahkan saluran televisi. Beberapa saat kemudian apa
yang dilihat Selly membuatnya berteriak memanggil Eka dan Putra.
“Lihat! Ada foto kalian di berita,” Selly
membesarkan volume televisi agar beritanya terdengar jelas. Putra dan Eka segera mendekat ke arah Selly.
“Iya, saya kenal baik nona Eldas, putri dari pemilik hotel ini. Saya pagi tadi melihatnya bersama kawannya sedang
sarapan. Lalu mereka berlima pergi keluar. Saya pikir mereka pergi untuk jalan-jalan,” seorang saksi mata di layar televisi memberikan keterangan.
Melihat berita ini,
Putra langsung mengganti rencana. Dia mengirim sms kepada Sisca dan Sutisna
agar nanti malam mereka berkumpul di sebuah tempat di Dago pakar. Karena disini mereka berempat
sedang menjadi buronan.
“Polisi hingga saat ini sedang
mencari keberadaan keempat orang ini ke seluruh pelosok
kota bandung. Untuk siapa saja yang melihat keempat orang ini dengan ciri-ciri yang baru saja dijelaskan diharapkan untuk segera
menghubungi pihak berwajib setempat,” ujar seorang petugas kepolisian.
Handphone Putra, Eka, Sutisna dan
Sisca berbunyi terus-menerus karena teman dan keluarga mereka
penasaran dengan berita yang baru saja tersebar. Eka dan Putra bergegas menuju Dago pakar.
“Haruskah saya ikut?” Selly menawarkan bantuan.
“Kamu pulang saja sel, kamu jangan terlibat. Mungkin kita akan pergi cukup lama untuk mencari Eldas. Kamu sementara
memantau kondisi di Bandung, nanti saya akan hubungi lagi dengan kartu baru,” Eka
meminta Selly
untuk segera pergi dari kontrakannya.
Selly tidak banyak bicara lagi. dia langsung keluar dari kontrakan Eka, dengan langskah terburu - buru tanpa berpamitan karena ketakutan. sedangkan Eka dan Putra sedang memikirkan jalan
keluarnya. Mereka berdua duduk sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya.
“Eka apakah kita aman
untuk berada di luar?” ucap Putra dengan muka bingung
“Entah, kita tidak
akan aman jika nanti malam akan bertemu dengan Sutisna di Asia Afrika. Dia tahu
tidak ya dengan berita ini?” ucap Eka
“begini saja
sekarang, pikirkan mengenai tempat perkumpulan kita dimana, terus kita harus
merubah atau menutupi wajah kita agar tidak terlalu ketara. Apakah kamu punya
kacamata dua atau rambut palsu atau apalah?” ucap Putra dengan nada serius
“Ide bagus,” ucap Eka
dengan wajah ceria
Eka beranjak dari
kursinya, dia menyuruh Putra untuk mengikutinya. Lalu mereka berjalan menuju
ruang belakang, disana ada sebuah gudang
yang sudah lama tidak terpakai. Isi di dalam gudang itu banyak sekali
semacam aksesoris pakaian model, pernak pernik, baju – baju bekas zaman dulu
dan banyak barang - barang lainnya. Barang – barang yang sudah lama tersimpan
di dalam gudang, membuat Eka dan Putra harus membersihkannya terlebih dahulu
dari debu dan rambat- rambat lancah sebelum di pakai. Putra menemukan rambut
palsu bermodel kribo, dia sangat menyukai dengan modelnya. Sedangkan Eka
menyamar menjadi perempuan, karena rambut palsu yang tersisa hanya tinggal
model – model untuk wanita. Terpaksa pada saat itu Putra harus membeli pakaian
dalam, luar dan sendal untuk wanita ke Ciwalk. Jaraknya tidak jauh dari
kontrakan Eka. Putra memberanikan diri keluar rumah dengan penampilan baru, di
menggunakan rambut kribo, jaket army, celana PDL, dan sepatu jungle milik Eka.
Dia berjalan dengan memaksakan untuk percaya pada dirinya sendiri, Penampilannya yang tidak biasa ini menarik banyak sekali perhatian dari orang – orang yang sedang
berjalan kaki.
“ya tuhan kuatkan urat kemaluanku, dan semoga tidak ketahuan – semoga tidak ketahuan, kuat –
kuat, percaya – percaya” Ucap Putra di dalam pikirannya
Sampailah di tempat
perbelanjaan CIWALK, hari ini sangat kebetulan sekali sedang ada bermacam tawaran diskon. Tidak aneh jika tempatnya menjadi padat oleh anak – anak remaja dan ibu
– ibu yang menggemari belanja. Putra kali ini harus berbelanja di tempat pakaian wanita. Dia terus menahan
rasa malunya, dia yang sangat awam dengan model perempuan, hanya melihat - lihat sambil mondar - mandir tidak karuan, bahkan menyentuh pakaiannya pun dia tidak pernah. terpikirlah spontan, bahwa dia memiliki masalah lain dengan ukurannya pakaiannya yang akan di belinya. namun keeruntungan berada di pihaknya, terlihatlah seorang wanita remaja yang sangat cantik, lebar dan
tinggi tubuhnya menurut perkiraan hampir sama dengan Eka. Kebetulan dia sedang melihat – lihat
pakaian dalam wanita, Putra pun memberanikan diri untuk menghampiri dan bertanya kepada wanita
tersebut.
“e-e-emba.. boleh nanya? Ucap Putra dengan jantungnya yang berdetak tidak karuan. “sebenarnya saya belum tahu apa yang harus
saya tanyakan, kata apa yang bagus untuk menanyakan masalah ini kepada wanita
cantik seperti dia,” Putra berpikir keras di dalam pikirannya
“ia boleh mas, ada
yang bisa saya bantu?” jawab wanita cantik itu, dengan sedikit senyum yang
menggoda
“i-i-ni mba, boleh
tahu ukuran pakaian dalem emba ga?” ucap Putra dengan kata yang terbata – bata
Wanita itu langsung
merautkan kulit dahi mukanya, bibirnya nyeleweng seperti orang kesal. Namun
Putra langsung dengan spontan menjelaskan maksud dari niatnya, dia pun langsung mengatakan.
“maaf mba, bukannya
saya lancang. Namun saya menanyakan hal itu untuk hadiah saudari saya yang
sekarang ini baru saja menginjak masa remaja, bentuk badannya hampir mirip
dengan mba. Saya juga sebelumnya belum
pernah membelikan saudari saya pakaian
dalam, jadi mohon maaf jika ada tutur kata yang tidak enak di dengar. Tolong
bantu ya, gimana?” Putra mengatakan hal ini sebenarnya tidak berpikir terlebih dahulu. “apa yang saya katakan barusan, apakah
alasan saya bisa diterima dia,” ngedumel di dalam pikirannya, dengan wajah
tidak karuan dan gerak gerik tubuh yang mulai tidak normal.
Wanita itu sontak
terdiam, lalu raut mukanya sedikit demi sedikit berubah berubah menjadi normal.
Lalu tiba – tiba wanita itu tertawa dengan terbahak – bahak sambil jari
telunjuk kanannya mengarah ke muka Putra, tangan kirinya mengepal dan menutupi
mulutnya yang sedang asyik tertawa.
“kamu laki – laki
yang lucu, haha,” ucap wanita itu sambil tertawa terbahak - bahak
Banyak orang yang
melihat kejadian itu, kejadian ini seolah – olah kondisi Putra sedang berada dalam zona ledekan oleh
seorang wanita. Muka Putra memerah, gerakannya mulai semakin tidak karuan,
dia langsung membalikan badan dan mencoba untuk menjauh dari wanita itu.
Lalu tiba – tiba pada saat Putra akan melangkahkan kakinya, tangan wanita itu
menarik kerah belakang Putra.
“tunggu kamu mau
kemana? Sini saya bantuin cari hadiah buat saudarimu," ucap wanita itu
Putra pun langsung
berterima kasih kepada wanita tersebut. Wanita ini mengajak Putra berkeliling sambil menjelaskan macam – macam ukuran pakaian dalam wanita secara mendetail, selain itu juga dia menjelaskan mengenai bahan,
merk, dan kenyamanan. Ketika itu Putra sudah kembali lagi ke kondisi
yang normal. "apakah ini yang dinamakan rezeki?". fantasinya mulai tidak terkendali. Mereka berdua mulai akrab satu sama lain dengan berjalannya waktu. Putra hampir lupa dengan
tujuannya, dia terlalu keasyikan berjalan bersama wanita cantik itu. Mereka malah melanjutkan berjalan ke toko baju dan celana, lalu terakhir ke toko sendal
wanita. Tidak terasa waktu sudah banyak di habiskan oleh mereka berdua hanya untuk berkeliling,
sedangkan Eka sedang menghawatirkan Putra yang sedang berada diluar
.
.
“apakah Putra tertangkap ya, dia lama sekali,” pikir Eka
Eka berkeinginan dirinya
untuk bisa segera keluar, namun perasaan dia masih belum yakin untuk kondisi saat ini.
Pukul 17.45 WIB Putra
telah sampai ke kontrakan Eka dengan raut wajah yang bahagia.
"bro, saya baru saja berhasil berkenalan dengan wanita cantik dan mendapatkan kontaknya, nama wanita itu adalah Gita Ayu, dia seorang mahasiswa semester akhir fakultas FISIKA dari UPI bro, tempat tinggalnya masih di daerah Bandung. Tapi sayang dia tidak mau memberi tahunya secara detail,"
"jadi kamu selama ini hanya asyik jalan - jalan dengan cewe asing yang baru kenal. dasar, apakah tidak sadar kita sedang waktu kita tidak banyak Tra? yaudah mana sini belanjaan saya, kita harus segera bergegas,"ucap Eka dengan penuh kesal, dia melontarkan semua kekesalannya kepada Putra dengan nada tinggi.
Putra langsung memberikan hasil belanjaannya kepada Eka.
"bro, saya baru saja berhasil berkenalan dengan wanita cantik dan mendapatkan kontaknya, nama wanita itu adalah Gita Ayu, dia seorang mahasiswa semester akhir fakultas FISIKA dari UPI bro, tempat tinggalnya masih di daerah Bandung. Tapi sayang dia tidak mau memberi tahunya secara detail,"
"jadi kamu selama ini hanya asyik jalan - jalan dengan cewe asing yang baru kenal. dasar, apakah tidak sadar kita sedang waktu kita tidak banyak Tra? yaudah mana sini belanjaan saya, kita harus segera bergegas,"ucap Eka dengan penuh kesal, dia melontarkan semua kekesalannya kepada Putra dengan nada tinggi.
Putra langsung memberikan hasil belanjaannya kepada Eka.
“yasudah maafkan saya, ni coba dulu pakaian barunya,” Ucap Putra dengan wajah yang penuh bersalah.
Eka menerima pakaian yang Putra beli, dia langsung cepat - cepat ke kamarnya untuk menggantikan pakaian, karena waktu sudah semakin malam. Eka sangat terkejut setelah memakai pakaian model wanitanya ini, karena semua ukurannya pas untuk dipakai. Dia pun tiba - tiba tertawa sendiri di dalam kamar, seperti layaknya orang gila.
“Putra, terima kasih kepada cewe tadi. ukuran pakaiannya tidak ada yang cacat sama sekali,”. teriak
Eka dengan perasaan bahagia
“gimana, tidak sia - siakan usaha saya selama di Ciwalk? sudah pakai saja
cepetan, udah keburu malem nih”
Akhirnya mereka berangkat dengan memakai pakaian yang aneh, namun Eka masih tetap membawa tas untuk membawa baju
ganti yang normal, batu akiknya dia simpan di saku tas kirinya. Mereka
sudah siap untuk berangkat.
"pakai kendaraan siapa kita kesana?" tanya Putra
"apakah kita tidak sebaiknya kendaraan kita, kita simpan di saja di kontrakan. biarkan kita kesana menggunakan kendaraan umum,"
"apakah kamu gila, kita harus berhadapan langsung dengan orang lain?" Putra kesal dengan keputusan Eka pada saat itu, dia terus - terusan ingin pergi dengan menggunakan motor. karena pikirnya itu lebih aman.
"saya tidak mau tanggung jawab, kalo rencana kita gagal disana. lalu flat nomer motor kita kena cap oleh polisi. rencana kita belum tentu berhasil bisa berkumpul di Dago sana Tra,". Eka masih mempertahankan pendapatnnya.
"yasudah kita berangkat masing - masing, kamu pakai angkutan umum, sedangkan saya menggunakan motor saya sendiri, gimana?" Putra yang tidak ingin melanjutkan perdebatannya, karena waktu yang sudah hampir malam.
Akhirnya Eka mengalah, dia juga tidak memiliki keinginan untuk pergi masing - masing, karena melihat resikonya yang susah untuk di prediksi. Mereka pun berdua menuju Dagi Pakar dengan kendaraan roda dua milik Putra.
Pukul 17.30 WIB Eka dan Putra telah sampai di daerah Dago pakar. Disana Eka langsung mengirim lokasi melalui SMS kepada Sutisna dan Sisca dengan menggunakan kartu baru yang baru saja beli di konter dekat lokasi.
"pakai kendaraan siapa kita kesana?" tanya Putra
"apakah kita tidak sebaiknya kendaraan kita, kita simpan di saja di kontrakan. biarkan kita kesana menggunakan kendaraan umum,"
"apakah kamu gila, kita harus berhadapan langsung dengan orang lain?" Putra kesal dengan keputusan Eka pada saat itu, dia terus - terusan ingin pergi dengan menggunakan motor. karena pikirnya itu lebih aman.
"saya tidak mau tanggung jawab, kalo rencana kita gagal disana. lalu flat nomer motor kita kena cap oleh polisi. rencana kita belum tentu berhasil bisa berkumpul di Dago sana Tra,". Eka masih mempertahankan pendapatnnya.
"yasudah kita berangkat masing - masing, kamu pakai angkutan umum, sedangkan saya menggunakan motor saya sendiri, gimana?" Putra yang tidak ingin melanjutkan perdebatannya, karena waktu yang sudah hampir malam.
Akhirnya Eka mengalah, dia juga tidak memiliki keinginan untuk pergi masing - masing, karena melihat resikonya yang susah untuk di prediksi. Mereka pun berdua menuju Dagi Pakar dengan kendaraan roda dua milik Putra.
Pukul 17.30 WIB Eka dan Putra telah sampai di daerah Dago pakar. Disana Eka langsung mengirim lokasi melalui SMS kepada Sutisna dan Sisca dengan menggunakan kartu baru yang baru saja beli di konter dekat lokasi.
Kita sudah menunggu di Pohon
Payung Teduh bersama Putra. isi Pesan SMS Eka. kebetulan saat itu Sutisna baru saja kelar dari pekerjaannya, rekannya disana masih belum tahu jika Sutisna adalah salah satu buronan sementara yang telah tersebar dimedia. terasa ada sebuah getaran dari HP Sutisna, dia langsung mengambil dan melihat sebuah pesan masuk. Sutisna langsung membuka SMS dan paham. Lalu dia pergi menuju parkiran motor dengan menggunakan jaket dan syal yang ada di tasnya dia keluarkan, lalu dia pakai untuk menutupi
mukanya. sambil berjalan Sutisna langsung membalas sms Eka, "ok otw sana segera". sedangkan Sisca masih belum ada
kabar.
Pukul 19.00 WIB Sutisna telah berkumpul bersama kedua kawan, awalnya dia sempat keliru karena Eka dan Putra masih menggunakan pakaian aneh pada saat itu. Namun gerak - gerik mereka berdua sudah bisa di tebak oleh Sutisna, dia pun tertawa setelah sadar melihat penampilan Eka yang berubah
drastis menjadi seorang wanita dan Juga Putra menjadi Kribo alay. Eka dan Putra yang tidak terima dengan ejekan ketawanya langsung mengganti pakaiannya, dan
merubah penampilannya menjadi normal. Sebenarnya mereka masih gelisah menunggu respon dari Sisca. Eka yang tidak sabar langsung menelepon Sisca. Yang mengejutkan saat Eka menelpon
Sisca, ternyata yang mengangkat adalah seorang laki-laki.
“Selamat malam, Saudari Sisca untuk saat ini sedang kami tahan di
kepolisian kota Bandung....” Eka pun langsung menutup telponnya. lalu mematahkan kartunya
dan membuangnya. Sutisna dan Putra yang kebingungan bertanya pada Eka.
“Kenapa ka?” Putra dan Sutisna bertanya pada waktu yang hampir bersamaan.
Eka ketakutan, terlihat dari ekspresi tubuhnya. mulutnya sangat sulit untuk di gerakan. spontan dia meminta kepada Putra dan Sutisna untuk segera meninggalkan tempat ini, dan harus mencari
tempat lain untuk
bersembunyi. Mereka bertiga langsung menaiki motor. Sambil berjalan, Eka menjelaskan kejadian yang sebenarnya terhadap Sisca.
"dia saat ini sedang berada di kantor polisi, sms saya baru saja terkirim ke nomernya. polisi saat ini pasti sedang menuju lokasi kita sekarang ini. maka dari itu kita harus mencari tempat yang amat tenang untuk berdiskusi,"
Mereka bertiga menuju ke arah Lembang melalui jalan punclut . Ini saat yang paling sulit, mereka harus memutar otak untuk mencari jalan keluar. Mereka juga harus menemukan Eldas yang hilang dengan tiba - tiba untuk membersihkan status buronannya. Mereka melaju dengan kecepatan penuh, hampir beberapa kali Sutisna dan Putra menabrak kendaraan lain di lawan arah. Tidak lama dalam perjalanan, kebetulan sekali di sebuah perkebunan terlihat seperti sebuah rumah tua. sepertinya sudah lama tidak terpakai. Dari jauh tidak seperti rumah, malahan seperti gupuk, karena rumahnya berukuran kecil. Kondisinya sudah teramat tua, kayunya sudah tidak terlihat begitu kokoh. Cat berwarna kuningnya sudah banyak yang terkelupas, hanya tinggal kayu - kayu yang hampir keropos saja yang terlihat. Sutisna pun menyarankan Eka dan Putra untuk berdiam disana sementara, sambil mendiskusikan tujuan. Mereka pun berjalan menuju ke rumah seperti gubuk tua itu.
"dia saat ini sedang berada di kantor polisi, sms saya baru saja terkirim ke nomernya. polisi saat ini pasti sedang menuju lokasi kita sekarang ini. maka dari itu kita harus mencari tempat yang amat tenang untuk berdiskusi,"
Mereka bertiga menuju ke arah Lembang melalui jalan punclut . Ini saat yang paling sulit, mereka harus memutar otak untuk mencari jalan keluar. Mereka juga harus menemukan Eldas yang hilang dengan tiba - tiba untuk membersihkan status buronannya. Mereka melaju dengan kecepatan penuh, hampir beberapa kali Sutisna dan Putra menabrak kendaraan lain di lawan arah. Tidak lama dalam perjalanan, kebetulan sekali di sebuah perkebunan terlihat seperti sebuah rumah tua. sepertinya sudah lama tidak terpakai. Dari jauh tidak seperti rumah, malahan seperti gupuk, karena rumahnya berukuran kecil. Kondisinya sudah teramat tua, kayunya sudah tidak terlihat begitu kokoh. Cat berwarna kuningnya sudah banyak yang terkelupas, hanya tinggal kayu - kayu yang hampir keropos saja yang terlihat. Sutisna pun menyarankan Eka dan Putra untuk berdiam disana sementara, sambil mendiskusikan tujuan. Mereka pun berjalan menuju ke rumah seperti gubuk tua itu.
Seseorang berjaket
tebal berwarna serba hitam, juga menggunakan ciput hitam sedang membawa sebuah tas. Dia tiba – tiba muncul dari belakang pohon dekat gubuk yang sedang mereka tuju. seolah - olah orang ini sudah menunggu sejak lama. seseorang itu Lengannya sedang menggenggam sebuah handphone,
lalu dia pun menulis sebuah pesan singkat dan mengirimnya ke nomer yang tidak
ada identitasnya. Setelah selesai mengirm pesan, lalu orang itu mengeluarkan
sebuah kamera Mirolles dari tasnya, orang itu pun segera bergegas untuk
mengambil foto Eka, Putra dan Sutisna yang baru saja sampai di depan gubuk. Mereka memarkirkan motornya di depan gubuk, mereka melihat bahwa gubuk ini masih memiliki pintu gerbang yang masih layak. Lalu Sutisna mencoba membuka pintunya dengan pelan, Pintunya sulit dibuka, dia mencoba berkali - kali menarik dan mendorong pintu itu.
"keliatanya aja layak, engselnya pintunya sepertinya sudah sangat karatan. sulit sekali di buka," ucap Sutisna yang sedang bersusah payah mendorong - dorong pintu. .
Eka merasa ada yang aneh dengan bagian bawah pintunya, sebuah serbuk kayu tiba – tiba berrjatuhan ke depan muka Eka. Serbuknya berjatuhan karena ulah Sutisna yang begitu kasar dengan cara membukakan pintu. Eka memperhatikan serbuk - serbuk itu berjatuh ketanah. Setelah pandangan Eka melihat ke tanah, ada sebuah bulatan dari dua sisi ujung pintu seperti ingin keluar dari tanah setiap Sutisna mendorong - dorong pintunya dengan kasar. Eka menjon
"keliatanya aja layak, engselnya pintunya sepertinya sudah sangat karatan. sulit sekali di buka," ucap Sutisna yang sedang bersusah payah mendorong - dorong pintu. .
Eka merasa ada yang aneh dengan bagian bawah pintunya, sebuah serbuk kayu tiba – tiba berrjatuhan ke depan muka Eka. Serbuknya berjatuhan karena ulah Sutisna yang begitu kasar dengan cara membukakan pintu. Eka memperhatikan serbuk - serbuk itu berjatuh ketanah. Setelah pandangan Eka melihat ke tanah, ada sebuah bulatan dari dua sisi ujung pintu seperti ingin keluar dari tanah setiap Sutisna mendorong - dorong pintunya dengan kasar. Eka menjon
“Tis kamu salah
membukanya,”
“emang gimana ka?”
“coba lihat di bawah
pintunya, ada roda. Coba geser ke pinggir buka pintunya,”
“oh ia sampai tidak
terpikirkan oleh saya,”
Sutisna pun mulai mendorong pintunya ke arah
kanan, pintunya agak sedikit sulit di buka, Eka ikut membantu untu membukanya.
Di antara sibukanya mereka berdua, Putra sedang melihat situasi sekitar. Saat
Putra melihat ke sebuah pepohonan, dia melihat sebuah cahaya yang tidak begitu
jelas menggelantung. Diapun mulai mengampirinya berlahan. Akhirnya Sutisna dan
Eka berhasil membukakan pintunya lebar – lebar. Sutisna melihat Putra.
“Put mau kemana
kamu?”
“Suttttt berisik,
kamu lihat cahaya disana,” dengan suara pelan
Orang yang sedang
memotret tadi itu, terkejut melihat salah seorang mengetahui rencananya. Orang
ini pun mulai merapikan perelengkapan kameranya, bersiap untuk bergegas pergi.
Namun orang ini tidak sadar bahwa sebenarnya cahaya hpnya lupa di matikan,
sehingga Putra sadar ada cahaya aneh di dekat pohon. Sutisna menepak pundak
Eka, sambil menunjukan telunjuknya ke arah cahaya yang sedang Putra hampiri.
Eka hanya memberi isyarat dengan menggelengkan kepalanya, bertanda kalo dia
tidak mau ikut menemani Putra. Sutisna mengembungkan pipinya dan mengerutkan
dahinya, serta memberikan jempol terbalik kebawah. Sutisna segera menghampiri
Putra.
“Tis kamu lihat
cahaya itu, dari jauh seperti menggelantung. Namun disana seperti terdapat
seseorang sedang mengintai kita,” ucap Putra
“saya sependapat,
tapi apa kita aman mendekati dia dengan tangan kosong,” ucap Sutisna dengan
nada yang ragu
Mereka beruda
langsung terdiam, sambil menjongkokan kakinya. Putra mulai memikirkan sebuah
rencana, dia langsung memandang muka Sutisna.
“kamu pendekar
silatkan? Dia sendirian kenapa tidak kita langsung lari saja dan langsung hajar.
Cuman seorang loh,” ucap Putra dengan semangatnya
“Gila, kita tidak
tahu dia siapa? Asalkan jangan hantu saya pasti bisa mengenai,” ucap Sutisna
terbawa suasana
“ya sudah tidak apa
–apa, saya cover di belakang mu,”
Mereka berdua
langsung berdiri secara terang – terangan dan berlari. Namun beberapa langkah
mereka berlari, orang misterius itu menghilang dalam kegelapan bersama cahaya
handphonenya. Mata mereka berdua melotot terkejut, langkah larinya terhenti.
“kemana dia?” kejut
Putra
“sudah saya duga itu
bukan manusia, mari ke kembali,” ucap Sutisna
Setengah jam berlalu dan hari
mulai gelap. Mereka masih sibuk berpikir, namun tak satupun dari mereka bertiga
mendapatkan petunjuk kemana seharusnya mereka pergi. Keheningan tiba-tiba
dipecahkan oleh suara sirene.
“Sial! Mereka sudah tahu kita ada
disini,” Sutisna mulai panik.
“Kita tak akan bisa melarikan
diri. Mereka sudah mengepung,” Putra bicara sambil melihat keadaan dengan cara
mengintip lewat jendela.
“Kita akan menjadi tersangka
karena kita yang terakhir kali terlihat bersama Eldas,” Eka mulai terlihat pasrah.
Suara ketukan di pintu membuat mereka
terlonjak kaget. Mereka bertiga bersiap di posisi menyerang. Mereka akan kabur begitu ada
kesempatan. Putra sudah menghitung jumlah polisi yang datang lewat jendela dan jika beruntung mereka akan
bisa menanganinya. Eka dan Putra pernah belajar bela diri, Sutisna juga pernah menjadi
juara nasional Silat
semasa SMA.
Ketukan di pintu semakin keras
dan berubah menjadi suara hentakan kaki, mereka sedang mencoba mendobraknya.
Sesaat kemudian segerombolan polisi melesak masuk ke dalam ruangan tempat mereka
berada dan mengacungkan senjata api. Namun Eka dan Sutisna yang langsung menyerang membuat
polisi itu kaget. Putra menendang senjata api yang diacungkan seorang polisi
dan menendang perutnya tepat di bagian ulu hati, membuatnya kesakitan. Senjata
api itu terlempar bawah kursi, ketika Putra hendak mengambilnya seseorang
menyerang Putra dari belakang. Putra lengah dan tersungkur menubruk kursi kayu
hingga patah. Sesaat kemudian seseorang meringkus Putra.
Suara kursi kayu yang patah itu
menyita perhatian Sutisna dan Saya yang sedang menghajar beberapa petugas
polisi. Mereka berdua langsung berlari ke arah Putra untuk menyelamatkannya.
Namun polisi yang meringkus Putra menembakkan senjata apinya sebagai
peringatan.
“Kami peringatkan kalian sekali
lagi untuk menyerahkan diri,” polisi itu berbicara dengan suara keras dan
mengancam.
Eka dan Sutisna saling berpandangan.
Mereka tak punya pengalaman untuk mengalahkan sepasukan polisi bersenjata. Mereka
berdua memerhatikan Putra yang terluka dan kesakitan. Eka melihat ke sekeliling ruangan,
dia berharap menemukan apa saja yang bisa dijadikannya senjata, namun ruangan
itu kosong. Hanya ada beberapa meja dan kursi kayu yang sudah berdebu.
Dalam keadaan putus asa itu Eka merasakan sesuatu yang panas
menyengat pahanya. Dia merogoh saku jinsnya dan menemukan cincin batu akik yang
diberikan oleh seorang kakek tadi pagi.
Polisi di ruangan itu mengarahkan
senjata yang mirip pentungan kepada Eka, takut kalau yang Eka keluarkan dari saku jinsnya adalah sesuatu yang
berbahaya. Namun setelah melihat bahwa yang dikeluarkan hanyalah cincin batu
akik mereka tampak tidak begitu tegang. Salah seorang polisi yang bertubuh
jangkung terbahak.
“Kamu koleksi batu akik juga
rupanya? Aku juga punya banyak di rumah kalau...”
Perkataan polisi itu terpotong,
semua orang refleks menutup matanya yang disilaukan oleh cahaya merah terang.
Cincin batu akik itu bersinar sangat terang seperti yang pernah dilihat Eka ketika mereka menginap di hotel
Eldas. Eka dan
Sutisna keheranan melihat kejadian itu, kenapa cincin batu akik itu bisa
menghasilkan cahaya seterang ini? Apakah cincin ini adalah sebuah lampu mini
yang bisa menghasilkan intensitas cahaya yang tinggi? Atau ini adalah sebuah
batu ajaib? Tak ingin disibukkan dengan pikiran-pikiran yang tak masuk akal, Eka dengan cepat meraih tangan
Sutisna dan berlari menuju Putra. Dia berpikir inilah waktu yang tepat untuk
kabur.
“Tis, kamu bawa Putra. Aku akan
berlari keluar dan membajak Mobil polisi. Cepat! ” Eka memberi perintah pada Sutisna.
Begitu Eka keluar dari ruangan itu dan
berlari menuju ke mobil, dia dibuat tercengang
oleh keadaan di luar. dia menengok ke belakang dan mendapati sutisna yang sedang
memapah Putra. Mereka berdua juga merasakan keanehan yang dirasakannya. Segera mereka berdua berjalan
mendekat ke arah Eka yang terdiam keheranan.
Keadaan di sekeliling mereka gelap. Bangunan yang mereka
gunakan untuk bersembunyi dan bertarung dengan polisi barusan telah lenyap. Mereka
hanya diterangi oleh cincin batu akik di genggaman tangan Eka. Semua di sekeliling mereka
adalah kegelapan, tak ada pepohonan atau jalan yang seharusnya berada disana. Aroma bau busuk pun
mulai tercium, semakin lama baunya semakin kuat. Mereka bertiga menutupi
hidungnya dengan tangannya masing -
masing.
“Ka, kita dimana ini? bau sekali” Sutisna terdengar panik. Dia takut gelap.
“saya juga gak tau Tis. Dingin banget disini,” Eka menjawab sambil menyorotkan
cincinnya ke segala arah. Berharap ada orang yang datang menolongnya.
“Putra gimana?” Eka mengalihkan cincinnya ke arah
Putra.
“Saya baik-baik aja, tapi sepertinya tangan kanan
saya patah” Putra menjawab lirih.
Eka dan Sutisna mendekat ke arah Putra. Mereka duduk mengelilingi cincin batu
akik yang saat ini menjadi satu-satunya sumber cahaya bagi mereka.
“apa yang harus kita
lakukan sekarang? Kita dimana?” Sutisna yang keadaannya sangat – sangat panik
Tiba – tiba keluarlah
cahaya berkedip – kedip berwarna merah, warna cahayanya sangat mirip dengan cahaya
akik yang sedang Eka pegang kali ini. mereka sontak hening seketika, saat
melihat cahaya baru yang muncul tiba – tiba dari jarak kurang lebih seratus
meter. Mereka memutuskan untuk menuju cahaya yang berkedip – kedip itu. Dalam
perjalanan menuju cahaya tersebut, terasa seperti ada sesuatu yang aneh di
bawah pijakan mereka. Seperti sedang menginjak sesuatu yang berbentuk bulat,
kadang setiap injakan terdengar sebuah suara retakan. Seperti sebuah benda yang
sudah rapuh. Rasa penasaran membuat mereka terpaksa harus mencari tahu, cahaya
akik yang menjadi satu – satunya sumber cahya harus di arahkan ke bawah.
Setelah cahayanya mengarah ke bawah, ternyata terdapat sebuah tengakorak kepala
manusia yang memanjang sejauh mata memandang. Putra mengira tempat ini seperti
bekas sebuah kuburan tua, namun Sutisna beranggapan lain, dia menyangka tempat
ini adalah sebuah tempat tinggal siluman atau kaum kanibal. Pada saat Sutisna
menyadari hal ini, dia menyuruh Putra untuk naik ke belakang punggungnya
Sutisna. Namun Putra menggelengkan kepala, Sutisna terus membujuk Putra agar
mengikuti perintahnya. Putra yang sedang menahan rasa sakitnya ini, dia
akhirnya lebih memilih bujukan dari Sutisna.
Lalu Sutisna jongkok,
kedua lengannya kebelakang, pergelangan tangan kirinya di pegang oleh kelima
jari tangan kanannya. Putra mengerti apa yang harus dilakukannya, dia langsung
memasukan kedua kakinya ke celah – celah lengan Sutisna yang sudah tersedia.
Putra pun akhirnya duduk nyaman, di atas telapak tangan Sutisna. Setelah
posisinya sudah nyaman, lalu Sutisna berdiri sambil menggendong Putra.
“sob, saya bukan
bermaksud untuk merusak suasana disini. Namun firasat saya berkata lain,
firasat saya berkata. Lari…” Sutisna langsung berlari sambil menggendong Putra
Putra yang
“wei tunggu, kalian
tidak boleh meninggalkan saya sendiri?” ucap Eka sambil berteriak
Mereka bertiga
berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang menuju arah cahaya. Namun tiba –
tiba cahaya merah batu akik yang di pegang Eka, cahayanya mulai meredup, cahaya
merah yang menjadi tujuan mereka berlari pun semakin dekat cahayanya malah
semakin menghilang. Putra menyuruh Sutisna agar menghentikan larinya, namun
Sutisna yang sedikit keras kepala dia terus melanjutkan larinya. Hingga pada
akhirnya terdapat sebuah cahaya kecil
yang datang dari arah depan, kali ini cahayanya semakin dekat malah semakin
terang. Sutisna mulai merasa senang dengan keputusan tanpa rencana ini. Eka dan
Putra pun tersenyum bahagia. Cahaya ini menuntun mereka keluar dari sebuah guha
yang teramat gelap, bau dan penuh dengan tumpukan tengkorak.
Setelah mereka
keluar, angin sejuk yang kencang meniup mereka bertiga hingga Sutisna yang
masih menggendong Putra hampir terjatuh. Tiupan anginnya membuat mereka harus
menutup matanya dengan masing – masing tangannya. Setelah anginnya berhenti
meniup, lalu mereka pun segera menyingkirkan tangan dari matanya. Eka yang
pertema kali membukakan matanya, dia langsung tercengang, disusul oleh Putra
lalu Sutisna. Terlihat Sebuah pemandangan yang belum pernah mereka saksikan
sebelumnya. Terdapat Sebuah savana yang terbentang luas membentuk sebuah lingkaran,
dibatasi oleh sungai yang mengalir mengelilinginya hampir semua lingkaran
savana. Air dari sungai ini bersumber dari aliran yang muncul dari sebuah guha,
membentuk seperti air terjun yang tidak begitu tinggi. Posisinya alirannya
berada tepat di sisi kiri belakang mereka berada, alirannya cukup deras. Alirannya
bercabang menjadi dua arah memanjang mengelilingi savana, hingga di ujung dua
cabang aliran sungai ini akan bertemu kembali menjadi satu arah, alirannya di
lanjut menuju ke balik perbukitan tanpa pepohonan. Hanya rumput pendek berwarna
hijau, yang tumbuh di perbukitan tersebut. Tepat di depan bukit tanpa pohon
ini, terbapat satu buah perbukitan
Ditengah perjalanan,
tiba – tiba terdengar seperti reruntuhan batu yang membuat kita menjadi getar.
“sekarang apa lagi
ini?” ucap sayadengan raut muka yang kesal
“mungkin saya salah
nginjak, coba saya nginjak sekali lagi ya,” ucap Sutisna sambil becanda
Namun Suara batu ini
terdengar berkali – kali, hampir bersamaan dengan setiap pijakan Sutisna ke
tanah. Berkali – kali Sutisna memijakan kakinya dengan bergantian, sambil
bernyanyi.
“kiri kanan kiri
kanan, suara gemuruh sekali …..,” sutisna sedang bernyanyi sambil kaki kiri dan
kanannya berloncat – locat sekarang.
“aneh sekali,” ucap
Putra sambil mendengar Sutisna bernyanyi
“apakah tanahnya
sensitif, “ ucap saya, dengan tangan yang sedang mengelus tanah. Sutisna masih
dalam keadaan bernyanyi
Sutisna yang sedang
asyik sekali menyanyikan lagu ciptaannya ini, tiba – tiba suara gemuruh itu semakin
jelas dan terasa ada suatu hal yang besar sedang mendekat. Saya dan Putra mulai
hawatir. Putra yang tidak sengaja menoleh ke sebelah kanan, tiba – tiba dia
melihat sesatu
“lihat kesana!” ucap Putra,
sambil menunjukan terlunujuknya ke arah perbukitan. Dalam keadaan tergendong.
(Sutisna masih bernyanyi sambil loncat – loncat)
Terlihat ribuan
burung berterbangan, keluar dari pepohonan yang berada di perbukitan. lalu
terdengarlah gemuruh suara hewan dari berbagai arah. saya pun menjadi sedikit
waspada, dan bersiap untuk menghapi sesuatu yang akan terjadi. Namun sutisna
masih keasyikan tidak menghiraukan teriakan Putra. Tidak lama kemudian,
terlihatlah hewan – hewan berlarian keluar dari perbukitan. seperti rusa,
beruang, harimau, jerapah, dan jenis – jenis lainnya. Saya dan Putrapun sempat
heran dengan setiap kejadian yang selalu tiba – tiba, hampir membuat kita tidak
di berikan sedikitpun tarikan nafas.
“lihat di sebelah
kanan, lebih cepat larinya,” ucap Putra dengan nada teriak.
“Sial, berat tahu.
Lemaskan badanmu,” ucap saya dengan kondisi yang lelah, karena berlari sambil
menggendong Putra
Sayapun, melihat ke
arah kanan. Puluhan gajah – gajah sedang berlarian, menuju ke arah kita. Saya
dan Putra sontak langsung berlari menyelematkan diri. Namun Sutisna masih
keasyikan bernyanyi sambil loncat. Saya dan Putra yang sedang berlaripun
meneriaki Sutisna.
“oyyyy… Sutisna ayo
lari, lihat di belakang kamu,” Ucap Putra sambil berlari
Kepala Sutisna yang
sedikit demi sedikit menoleh ke arah belakang, dengan wajah terkejut. Langsung
dia menyudahi nyanyi dan tarian loncat – loncatnya, menjadi lari.
“Kenapa kalian tidak
kasih tahu saya,” Ucap Sutisna sambil berlari saat ini
Pada saat itu kita
jadi kejar – kejaran dengan gajah.
“ayo kita berlindung disana,”
saya berteriak memberi perintah untuk berlindung di dekat pepohonan yang
terdapat batuan besar.
Kita pun berlari mendekati
batu tersebut. Entah nasib buruk saat ini berpihak pada kita, saat kita hampir
menuju batu itu. Tiba – tiba tujuh ekor
singa keluar dari balik batu tersebut. Kita pun langsung berputar arah. Singa –
singa yang mungkin kelaparan, mereka semua langsung berlari ke arah kita. Sekarang
masalah menjadi double, kita malah jadi kejar – kejaran sama gajah dan singa.
Langkah para raja hutan yang sangat lincah ini, hampir mengejar lari kita. Batu
akik merah yang sedang di pegang saya, kembali mengeluarkan cahaya merahnya.
Saya pun merasa heran, apa maksudnya batu ini menjadi tiba- tiba terang. Cahaya
keluar dari akik, sinarnya terus membesar membentuk lingkaran, hingga kita bertiga
terlindungi dari sinar akik. Lalu dengan sekejap mata, kita pun berteleportasi
menjadi berada di bukit yang sama sekali tidak terdapat satu pohon. Hanya hijau
rumput yang melapisi bukitnya.
“Lihat di bawah itu,”
ucap Sutisna sambil melotot
Saat itu savana yang
indah, berubah menjadi lautan para binatang yang sedang berlarian. Kita sedang
melihatnya dari perbukitan. Dari banyaknya binatang yang berlarian, saya
mencoba mengamati hewan karnivora, apakah binatang – binatang ini berlari
karena ancaman dari para hewan karnivora. Itu yang terpikir oleh saya. Sayang sekali,
ternyata pada saat saya melihat sekelompok singa yang sedang berlari, posisi
mereka tepat di dekat para rusa. Namun Singa itu sama sekali tidak memangsanya.
Jadi sebenarnya, para binatang ini berlarian karena apa?
Para binatang yang
terus berlarian, hampir tak ada henti – hentinya mereka semua membanjiri savana
yang luas dan indah ini. Terlihat sebuah cahaya biru yang amat terang di sebuah
perbukitan yang terdapat banyak pohon, arahnya bersebrangan sebelah kanan dari
bukit yang saat ini kita diami. Cahaya biru ini terus terang benderang, hampir
menyilaukan mata kita. Terlihat juga seperti seseorang yang tepat berada di
dekat cahaya tersebut, namun itu terlihat kurang jelas, karena pandanganan kita
terganggu oleh terangnnya cahaya biru tersebut.
“apakah kalian lihat
seseorang di dekat cahaya biru itu,” menurut saya sambil sedikit membukakan
mata
“entahlah, cahaya ini
terang benderang. Saya tidak mampu untuk membukakan mata, emang apa yang kau
lihat ka?” menurut Putra sambil menutup matanya dengan tangan kiri.
“entah seperti
seseorang,” menurut saya, dan kembali saya menutupi mata dengan kedua tangan
saya.
Cahaya yang terus menerus
menjadi lebih terang ini, hingga tangan ini tidak mampu untuk meredam masuknya
sinar biru ini. Kita pun bersamaan teriak, karena otot siliaris mulai tidak
mampu untuk beradaptasi dengan cahayanya.
“Waaaaaaaaaa…..,”
ucap kita bertiga, sambil menutupi mata dengan tangan.
Pada saat kita dalam
kondisi teriak, tiba – tiba telinga ini mendengar seperti suara manusia dengan
jumlah yang sangat banyak sambil teriak – teriak, dan cahaya biru yang super
terang ini menghilangkan sinarnya secara berlahan – lahan. Kita sedikit – dikit
mulai bisa membuka mata dengan berlahan. Sedikt terlihat di perbukitan sebelah
kiri, tepatnya berseberangan dengan keluarnya cahaya biru. Ribuan orang yang
memiliki tinggi sama seperti kita, berkulit coklat sawo matang, rambutnya panjang.
Ada yang di ikat kebelakang, ada juga yang sengaja di uraikan. Rata – rata dari
mereka adalah kaum adam, mereka berlari dengan mulutnya yang terbuka sambil
berteriak – teriak ala sukunya, juga genggaman tangannya terlihat sedang
membawa senjata berupa kapak, tombak,
gada dan panah, yang anehnya tidak ada satu orang pun yang membawa pedang.
Mereka berlarian menuju cahaya biru,
keluar dari perbukitan. seperti pasukan perang angkatan darat purba, mereka
hanya mengenakan celana warna coklat hingga pahanya yang berbahankan kulit,
entah kulit apa masih belum terlihat jelas. Disusul di belakangnya oleh pasukan
yang menunggangi kuda, pasukan ini mereka menggunakan semacam pelindung kepala
yang terbuat dari tulang banteng. Senjata yang di bawanya sama seeperti pasukan
yang di depannya. Ada juga pasukan pemanah, mereka sama menunggangi kuda. Dengan
membawa dua buah kantung anak panah, yang satu terlihat seperti anak panah
biasa, tapi yang satunya lagi gagangnya memiliki sebuah corak etnik yang
seperti khas. Kedua buah kantungnya tergantung di badan kuda yang di
tungganginya. Namun mereka tidak menggunakan pelindung kepala, tapi mereka
mengenakan jubah hitam. Kemungkinan jubah yang di kenakannya itu, terbuat dari
kulit Puma. Entah benar atau salah, mata saya masih beradapatasi pada saat
itu. Semua pasukan ini memiliki ciri
yang terlihat khas, Telapak tangan dan kakinya berwarna merah, juga gelang
berwarna hitam yang di kenakan di pergelangan tangan dan kakinya oleh seluruh
pasukannya.
Dari arah cahaya
biru, hanya terlihat satu orang pria yang mengenakan jubah hitam yang menutupi
seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki. Dia melangkahkan tiga langkah kakinya
ke depan, lalu terdiam. Cahaya birunya, berada melayang di arah tepat di
telinga kanannya. Pada saat itu Dia sama sekali tidak menggerakan badannya.
Seperti sedang menunggu sesuatu, tatapan matanya tajam mengamati para pasukan
yang akan menyerang dirinya. Pasukan yang terus berlari ke arahnya, sudah
mengarungi setengah perjalanan menuju seseorang berjubah hitam. Orang berjubah
hitam ini, mulai menggerakan tangan kanannya. Jari jemarinya seperti akan
menggenggam sesuatu. Lalu tiba – tiba
munculah air yang teramat jernih keluar dari benda bercahaya biru. Airnya
memanjang membentuk sebuah tongkat. Airnya membentuk tongkatnya tepat di
genggaman si orang berjubah ini. airnya terus menyempurnakan bentuknya dalam
genggaman si pria itu, dan pada akhirnya terbentuklah sebuah tongkat berwarna
biru muda, dengan gambar seperti seekor naga dan hewan mitologi jenis lain.
Entah apa namanya belum saya ketahui. Di ujung tongkatnya, benda bercahaya biru
itu menyatu. Lalu tangan kirinya tiba –
tiba keluar dari jubahnya, dan langsung mengacungkan jarinya. bendanya kembali
bercahaya lagi, cahayanya mengumpul di tepi jari terlunjuk. Hingga berubah
menjadi sebuah bulatan biru sebesar kepalanya. Lalu dia juga menunjukan jari
kelingkingnya dan selanjutnya jari jempolnya. Seperti sedang membuat pola,
cahaya berbentu bola itu bergerak menuju ke antara ketiga jari yang kali ini
sedang di acungkan. Terlihat juga mulutnya sedang mengucapkan sesuatu, yang
membuat bolanya menjadi semakin terang.
Para tentara barisan
depan, mereka semua sontak tertiam seketika. Lalu di ikuti oleh semua barisan
yang di belakangnya. Tentara barisan depan ini, mereka merapatkan barisan,
sambil mengacungkan senjata yang sedang di pegangnnya. Sedangkan, para tentara
pemanah yang ada di barisan belakang, semuanya sedang bersiap untuk membidik
anak panahnya ke atas. Kita yang sempat tercengang atas kejadian yang belum pernah
kita alami. Sutisnapun menepuk – nepuk mukanya berkali – kali, karena pikirnya
ini adalah sebuah mimpi.
“Apa yang kamu
lakukan tis?,” ucap Putra karena mulai terganggu dengan sikapnya
“saya cuman
memastikan aja, bahwa kejadian ini benar – benar langsung di depan alam sadar
saya. Bukan lagi hanya sekelebat mimpi,” ucap Sutisna sambil memukul – mukul
pipinya
Semua tentara
sepertinya sudah siap membentuk formasi, namun bolanya masih melayang di antara
ketiga jari si pria tersebut. Terlihat satu orang dari barisan berkuda, turun
dari kudanya, dan langsung berlari menuju barisan depan. Orang ini berlari
sambil teriak – teriak, lalu di ikuti oleh seluruh tentaranya, seperti sebuah
nyanyian untuk meneguhkan hati para tentara. Setelah berlari melewati beberapa
ratus pasukan barisan depan, akhirnya orang ini tiba, dia berdiri sendiri di
barisan terdepan. Lengan kanannya menjulur ke atas, dengan menggenggam sebuah
gada. Pada saat ini, langit biru yang di temani oleh awani putih yang indah.
Berubah menjadi mendung, tetesan – tetesan air turun dari langit mulai
berjatuhan. Setetes demi setes air, berlanjut menjadi hujan deras di tambah
dengan angin kencang yang meniup ke arah para tentara. Angin ini membuat
berisan depan, mulai goyah, namunu mereka berusaha sekut tenaga untuk menahan
tiupan angin, sambil terus menerus berteriak.
Bola biru yang mulai
terlihat kemantapannya, akhirnya pria berjubah ini menurunkan tangan kirinya
dan langsung menembakannya ke arah para tentara yang berada di sebuah dataran
savana yang luas.
Namun para tentara
ini, masih mengacungkan senjatanya. Hingga tiba terdengar suara dari teriakan,
yang mungkin saja itu sebuah perintah dari orang yang berada sendirian paling
depan. Mereka para tentara barisan depan semua kompak menancapkan senjatanya ke
tanah, dan membentuk sebuah dinding pelindung yang teramat tinggi dari tanah.
Kira – kira 10 meteran. Para pemanah melontarkan anak panahnya ke atas, dan
terbentuk sebuah pertahanan di langit yang terbuat dari hologram, hingga
menyelimuti seluruh bala tentara. Pertahanan tersebut berhasil tercipta
sempurna pada saat beberapa meter cahaya biru datang menyerang.
DUARRrrrrr….
Suara hantaman yang
dahsyat, hingga menimbulkan tiupan angin yang sangat luar biasa. Kita
bertigapun, berhasil terbang tertiup oleh angin hasil benturan yang di
hasilkan. Tidak ada satupun pepohonan yang tumbuh di sekitar, membuat kita
terpental jauh berguling ke bawah bukit.
“sial, mana tidak
pegangan lagi di sekiar sini,” ucap Sutisna berteriak sambil berguling menuju
ke bawah bukit
“sudah gulingkan saja
ubuhmu itu, lagian bukitnya empuk,” menurut Putra sambil berguling juga di
bukit yang hanya di tumbuhi oleh rumput yang tebal.
“persiapkan diri
kalian, lihat kita akan mendarat di sebuah sungai, waaa,” menurut saya
Hingga mereka mendarat di sebuah sungai,
alirannya yang deras, membuat mereka harus menghadapi tantangan di sungai ini.
“saya gak mau mati di
tempat seperti, siapa pun penghuni dunia ini, tolong saya, saya gak mau mati
sekarang,” teriakan Sutisna setelah masuk ke aliran sungai deras, dan terbawa
arus. Putra melihat sebuah batu besar, di arah depan. “lihat batu di depan sob,
kita bisa coba tahan tubuh kita di batu sana dengan tangan kita,”
Ketika mereka
mengulurkan tangannya dan kakinya kedepan, mencoba menahan tubuh.
“siap sob, kita akan
mengahadapi benturan dahsyat. Konsentrasikan tangan dan kaki kalian untuk bisa
menhannya,” ucap Putra
Batupun semakin
mendekat.
“Tahan!,” ucap kita
bertiga sambil teriak
Namun tidak ada
seorang pun yang berhasil mencobanya. Aliran yang deras, membuat dorongan air
begitu kuat. Hingga kita terpental lagi, Kepala saya terbentur dengan batu yang
berada di pinggir batu besar tersebut. Kesadaran sayapun mulai tidak stabil, Saya
berusaha meperkuat diri, dengan terus melihat Sutisna dan Putra kembali yang
sedang hanyut terbawa arus. Namun diri saya perlahan – lahan mulai tidak
sadarkan diri. Kegelapan yang murni, kembali menyelimuti diri saya.
“dimana saya
sekarang, Putra, Sutisna dimana kalian?” ucap saya s
Cahaya biru yang sama
dengan kejadian di atas bukit itu kembali menampakan diri, terlihat sekelibat
seorang pria muncul dari dalam cahaya, wajahnya tidak begitu jelas, namun dia mengenakan
pakaian yang sama dengan ayah saya, waktu terakhir saya melihatnya. Dia
mengulurkan tangannya. Lalu suarapun entah dari mana, terdengar samar – samar.
“bangunlah,
bangunlah, dunia ini masih gelap untuk tidur saat ini,”
Setelah saya mencoba
untuk mendapatkan uluran tangannya, tiba – tiba datanglah seseorang dengan
menggunakan baju perang. Dia menggunakan jubah yang terbuat dari kulit macan tutul
yang telah dikuliti, kepalanya pun setengahnya di tutupi oleh kulit kepala
macan tutul yang masih terlihat utuh.
Celananya. Terbuat dari sebuah baja, hanya melindungi hingga lututnya.
Tidak menggunakan alas kaki. Dia berlari sambil membawa senjata kapak, menuju pria
yang sedang mengulurkan tangan, dengan genggaman kapak yang siap untuk menebas.
Saya pun berteriak, dan berusaha untuk mendorong pria yang sedang mengulurkan
tangan ini, namun tubuh saya sangat berat untuk di gerakan. Bibir sayapun tiba
– tiba sulit untuk bisa berteriak. “a.a…aw…a…s….”. saat saya berusaha untuk
berteriak, pria yang mengulurkan tangan ini akhirnya tertebas dengan kapak pria
yang ada di belakangnya. Tebasannya hingga memisahkan setengah badannya. Hampir
seluruh darahnya, muncrat kepada sekujur tubuh saya. Darah yang begitu banyak
membuat diri saya, hanya terdiam. Mata saya terus melotot menuju tangan yang
akan meraih tangan si pria yang terbunuh tadi. Namun sekarang tangan ini telah
penuh dengan darah. Pria macan tutul ini, kemudian menghampiri saya dengan genggaman
kapaknya yang kuat. Hanya pasrah yang bisa di lakukan saat ini. Tangannya yang telah lihai memegang senjata
kapak ini, kapaknya pun langsung di angkat seolah – olah, sedang mengambil
ancang – ancang untuk menebas saya. Suara yang entah dari mana, tiba – tiba
hadir kembali.
“bangun, bangun eka,
bangun,”
Kapak itu pun terus
menuju ke arah muka saya, namun setelah mengenai muka saya. Bukannya muncratan
darah yang hadir, melainkan sebuah air.
“enak bener yang dari
tadi tiduran, sedangkan kita harus teriak – teriak setengah mati menghadapi
derasnya aliran sungai,” menurut sutisna
“saya dimana
sekarang?” ucap saya dengan wajah bingung, dan masih lemas.
“kamu tertidur dari
tadi, kita baru saja berhasil melompat dari air terjun. Kita sekarang ada di
tepi sungai yang tidak terlalu deras” ucap Putra
“sudah cepat berdiri,
kita sudah ngebisin waktu di tempat aneh ini,” ucap Sutisna sambil mengulurkan
tangan
Sayapun mencoba untuk
berdiri, sambil mengambil tangan sutisna. Setelah saya berhasil terbangun, saya
baru sadar bahwa kejadian tadi itu hanya mimpi. Dan sekarang saya berada di
sebuah aliran yang enang, serta di berikan sebuah panorama yang indah. Terdapat
tujuh air terjun yang tinggi, sekarang sedang mengelilingi kita. Namun mimpi
tadi masih membuat diri saya menjadi penasaran. “pria yang menggunakan pakaian
ayah saya dan cahaya biru, apa maksudnya ini?”
“eka oy, eka sadar,”
ucap Sutisna sambil menepuk – nepuk tangannya di depan muka saya. Saya pun
langsung tersadara dan bertanya kepada Sutisna dan Putra secara spontan
“bagaimana perjanan
tadi? Sayang saya tidak ikut menikmatinya haha,. Putra gimana dengan keadaan
tanganmu sekarang?” ucap saya
“anak ini mulai aneh
sekarang,” ucap sutisna
“tangan saya sudah
kembali normal, entah kenapa,” ucap putra dengan muka yang senang “terus apa
rencana kita sekarang, bagaimana cara kita keluar dari tempat ini?” ucapnya
“benar sekali, tujuan
kita mencari Eldas. Apa mungkin wanita kaya itu ada disini?” ucap saya
“oh ia batu akik kamu
ka, coba fungsi lagi. Siapa tahu dia bisa membawa kita kembali,” ucap sutisna
Sayapun mengambil batu akiknya dari saku
celana
“batu akiknya
sekarang seperti biasa aja, tidak lagi terang seperti tadi,” ucap saya
“gosok – gosok
mungkin seperti dongeng aladin,” ucap sutisna
“saya coba ya,” saya
pun menggosoknya, namun tetap tidak mau nyala
“coba lempar –
lempar, sambil bilang apa gitu. Supaya kaya film power ranger atau ultraman,” ucap
sutisna
Sayapun melemparnya
ke atas, namun batu akiknya sama sekali tidak mau menyala.
“nah terus gimana
ya?” ucap sutisna, saat itu waktu sudah semakin sore.
“yaudah sementara
kita membuat Bipak(sebuah tempat tinggal yang terbuat dari bahan – bahan ala
yang ada di sekitar) aja disini, sementara,” ucap putra
“kita bermalam
disini, gila broh. Jangan kita enggak tahu kalo disini ada hewan buas, hantu,
atau manusia kanibal. Lebih baik kita jalan saja, siapa tahu ada tempat tinggal
di sekitar sini,” ucap Sutisna
“harus ke arah mana
kita mulai perjalannya, kita juga gak tahu kalo di perjalanan akan menemukan
tempat tinggal,” ucap saya
“dari pada kita terus
– terusan disini, mau sampai kita nunggu. Bahkan kita buat simbol S.O.S di
sekitar sini, mana mungkin ada helikopter yang mau nolong,” ucap sutisna
Kita pun sementara
mengikuti keinginan Sutisna, yang terus ngotot. Kita semua berjalan menuju
aliran sungai, karena ini adalah jalan alternatif di banding harus menerobos ke
hutan belantara yang kita tidak tahu arahnyaa.
Di perjalanan
Perut saya berbunyi
mebruit, Putra dan Sutisna sangat jelas sekali mendengarnya.
“kamu lapar ka?” ucap
Putra
“ia kita tidak sadar,
sudah berjam –jam perjalanan. Perut belum di isi, gimana kalo kita cari ikan
saja di sekitar sini,” Putra dan Sutisna pun meberhentikan langkahnya, mereka
langsung menatap tajam ke arah saya dengan mulut yang tersenyum.
“ide bagus sob,
sebenarnya kita sudah menahan lapar dari tadi,” ucap sutisna
“ok kita cari kayu
buat bikin tombaknya sekarang,” ucap Putra sambil berlari menuju hutan, saya
dan Sutisnapun ikut mencari kayu.
Pohon Palma, pohon – pohon tersebar di
sepanjang bahu sungai. Beberpa pohon telah kering, akar rimpang yang lumayan
panjang, bisa di jadikan tombak. Meskipun strukturnya kurang begitu baik, untuk
dijadikan tombak ikan yang sempurna.
“Sob, apakah akarnya
bisa berhasil untuk di jadikan tombak menangkap ikan? Ini terlalu ringan,” ucap
Eka sambil menggenggam akar
Tangan Putra yang
sedang mengambil pisau di sakunya, pandangnya langsung memandang eka “Entahlah,
kita coba dulu saja. Strukturnya lumayan kokoh, hanya tinggal akurasi tembak
kitanya aja yang harus di tingkatkan,” Putra memulai menyisik ujung akarnya, untuk meruncingakannya dengan pisaunya.
Kebetulan Sutisna
pada saat sedang mencari akar, dia menemukan jaring besi yang tersangkut di akar. Sutisnapun mencoba untuk
menariknya.
“Lihat, saya
menemukan apa?” ucap Sutisna, sambil berusaha menarik jaringnya yang
tersangkut.
“semoga kali ini
beruntung,” menurut Eka sambil membuang akarnya ke sungai dan mulai menghampiri
Sutisna yang sedang menarik – narik jaring yang tersangkut.
“kenapa kamu enggak
pangkas saja akarnya?” menurut Putra, dia sedang meruncingkan unjung akarnya,
sambil duduk di bebatuan dekat bahu sungai.
“oh ia kenapa saya
harus susah payah narik – narik jaringnya,” keluar dari kepalanya seketika, dia
langsung buka baju dan celannya. Hanya kolornya yang sekarang ia kenakan, “ok,
ide bagus itu tra makasih,” nyeburlah sutisna ke sungai yang agak dangkal untuk
memangkas akar – akarnya.
“eudah nyebur aja
entis ini, tunggu woy, kamu udah nyuri start,” Eka sedang berlari sambil
membuka pakaiannya.
“dasar bocah,” bisikan
Putra sambil meraut ujung akarnya, dengan wajah yang so dewasa melihat ke arah
Eka dan Sutisna.
Akar – akarnya pun
mulai coba di patahkan oleh Eka dan Sutisna, dengan menggunakan tangan kosong.
Sutisna memulai “sial sulit sekali akar
ini untuk di patahkan, kenapa akar ini tidak sama dengan akar yang lain,” menurut
eka sambil memelentingkan akarnya bersama Sutisna. Berkali – kali mereka
mencoba mematahkan akar pohonnya, namun mereka tidak mampu. Sedangkan Putra
telah berhasil meraut akarnya, tombak yang dia buat telah siap. “ada apa dengan
kalian, mengapa sesusah payah itu untuk mematahkan akarnya haha…,” ucap Putra
sambil tertawa. “ya sudah kalian berusahalah untuk mengambil jaringnya ya, saya
mau berburu ikan dulu,”
“sial usaha kita
kesusul sama dia,” ucap sutisna dengan nada yang kesal.
“terus kita bagaimana
sekarang, saya udah mulai lemas,”
Tiba – tiba pisau
Putra di lemparkan ke arah eka dan Sutisna, lalu tertancap di akar dekat
Sutisna. “ups, sory ngagetin, itu coba gunakan benda itu,” menurut Putra.
“darimana kamu
belajar melempar seperti itu? Boleh juga akurasinya,” menurut Eka
“saya hanya banyak
menonton film – film action,” ucap putra
“hampir saja mengenai
tanganku,” keluar dari pikiran Sutisna, sambil melihat pisau di tambah dengan
perasan kaget. “apa tidak bisa kamu memanggil dulu sebelum melemparkan
pisaunya,” Sutisna teriak kepada Putra
“sudah gunakan saja,
udah mau sore nih. Kita harus cepet tangkap ikannya,” jawab Putra yang sudah
memulai berburu ikan
“untung saja tuhan
masih sayang saya,” Sutisna berbisik pada dirinya sambil mengambil pisau yang
Putra berikan.
Putra pun mencoba
untuk mematahkan akarnya dengan pisau, namun usahanya masih tetap sama.
“apa – apaan ini,
pisaunya sama sekali tidak bisa menggores permukaan akarnya,” Sutisna yang
semakin kesal, berkali – kali dia melancarkan pisaunya ke akar dengan sekuat
tenaga, namun gagal. Seperti menebas sebuah besi.
“boleh saya coba tis
pisaunya?” ucap Eka
“nih ambil saja, saya
menyerah,” Sutisna memberikan pisaunya kepada Eka, dengan muka yang penuh
penyesalan. Dia lalu berjalan ke tepi sungai untuk duduk santai. “tanggung
jawab mu tidak tuntas tis,” ucap Putra sambil menombak ke arah buruannya
“berisik, saya
istirahat dulu bentar,” ucap Sutisna sambil duduk nyender ke akar yang mirip
berbentu kursi yang memnajang.
Sementara itu Eka
sedang mencoba untuk menebang akarnya dengan pisau yang di berikan Putra.
“semoga saja,” itu
yang terucap dari pikiran Eka. Ekapun melancarkan pisaunya ke akar itu, namun
tiba – tiba terdengar suara misterius.
“Jangan,” suaranya
seperti suara wanita dewasa yang berteriak.
“apa kalian mendengar
suara Tis, Put?” ucap Eka dengan tanganya yang tertahan sambil menggenggam
pisau.
“Suara apa?” Putra
“sudah istirahat aja
disini, enak ka,” Sutisna
“mereka tidak
mendengarnya, apa-apa lagi ini,” pikir Eka
Karena penasaran, Eka
mencoba untuk menebang akarnya lagi. Kali ini bukan suara misterius yang
terdengar, melainkan batu akik yang ada di saku celana kananya kembali menyala
dan cahayanya membuat paha Eka seperti terbakar. “aw, panas sekali,” teriak Eka
sambil mengambil batu akik dari sakunya. “kenapa ka?” kejut Putra yang akan
bersiap untuk menombak ikan. Sedangkan Sutisna hanya membukakan mata kanannya,
sambil tiduran dan duduk santai.
“entah, batunya
bercahaya lagi. Kali ini cahayanya membuat saya panas,” ucap Eka sambil
meringis kesakitan.
“mana cahayanya?”
ucap Putra
“entah, tadi pas saya
mau nebang akarnya, tiba – tiba batunya bercahaya. Coba saya tebang lagi ya,”
ucap Eka
Eka pun mencoba
menebang akarnya kembali, disaksikan oleh Putra. Ayunan pisaunya kembali
tertahan oleh panasnya cahaya batu akik yang sedang Eka genggam. Suara
misteriuspun kembali terdengar, kali ini suaranya berteriak. “Jangan lakukan!”
Menyaksikan kejadian
itu, telah membuat Putra dan Eka kaget
dan terdiam sejenak.
“benarkan?” ucap Eka
“ini tidak bisa di
percaya,” ucap putra berjalan menghampiri Eka. “Suara barusan, darimana asalnya? Terdengarnya jeritannya
seperti sangat marah,” ucap Putra
“itu, itu yang buat
saya penasaran. Apa perlu saya coba lagi untuk memastikannya?” Eka yang kali ini
menyimpan batu akiknya di akar, agar tubuhnya tidak terkena panas dari
cahayanya. Putra hanya mengelukan kepalanya, dengan tatapan yang penasaran.
Lengan kanan Eka
kembali mengayunkan pisaunya, berharap penasarannya akan berhasil terjawab. namun
batu akik itu pun kembali mengeluarkan cahaya merahnya, dan saat itu aura
panasnya begitu sangat terasa panas. Langit yang cerah pun berubah menjadi
berwarna kemerahan, muncul cahaya leser keluar dari batu akik itu, cahayanya
menuju ke arah langit. Keluar hembusan angin yang kencang juga, hembusannya
mendorong Eka, Sutisna, dan Putra hingga terjatuh. Semua tentara yang sedang
perang di medan perang pun terdiam seketika, saat suhu udara berubah menjadi
panas, dan melihat langit berubah menjadi merah serta cahaya leser yang
menujulang kelangit terlihat dari belakang bukit. Pria berjubah pun, dengan
segera dia menuju ke arah cahaya merah itu keluar dengan berlari. Tentara yang melihat pria itu berlari, dia
langsung berteriak kepada rekannya untuk menghentikan lari si pria tersebut. Pria
itu berlari menuju hutan belantara, para tentara ini mengejarnya juga dengan
membentuk sebuah formasi seperti huruf X. mereka semua kembali mengacungkan
senjatanya. Di awali dengan ribuan tentara memanah menembakan panahnya mengarah
ke langit, setelah panahnya menembus
langit. Panahnya berubah tiba – tiba menjadi sebuah batu – batu yang besar,
batu ini mengarah ke pada pria berjubah itu. Namun gesitnya pria ini berlari,
hampir tidak ada satu batu pun yang mengenainya. Lalu para pemegang gada
serempak mengayunkan senjatanya ke bawah seperti menyaring ikan dan
menghasilkan gempa, tanah – tanahnya berubah menjadi balok bangunan yang
berterbangan ke arah pria tersebut. Pria itu langsung loncat dan mengerakan
tongkatnya ke belakang sambil berlari. Dari tongkat nya itu mengeluarkan
cahaya, dari cahayanya itu bertaburan butiran – butiran salju, yang secepat
kilat butiran satu dengan butiran yang lainnya menyatu, dan memadat membentuk
sebuah benteng yang teramat kokoh untuk menghadang serang lawannya.
Sementara keadaan
Eka, Putra dan Sutisna, begitu kacau. Hembusan angin yang keluar batu itu
teramat kencang, apa lagi dengan kondisi suhunya tidak begitu bersahabat. Tiba
– tiba terdengar benturan dan ledakan yang keras, terdengar beberapa kali.
“apakah kalian
mendengar sesuatu?” ucap Putra
Suara gemuruh dan
ledakan, terdengar sangat keras.
“sangat jelas sekali,
jadi apa yang harus kita lakukan sekarang, Eka apakah kamu bisa menghentikan
batu itu kita sudah kepanasan disini,” ucap Sutisna yang sangat kepanasan
“Entah, tapi harus di
coba. Tapi saya bingung harus bagaimana,” ucap Eka dengan muka yang bingung
Suara ledakan pun
mulai terddengar mendekat, tebing -
tebing yang ada di sekeliling mereka mulai retak akibat getaran ledakan
tersebut.
“ini bagaimana,
mereka mendekat, apa yang harus kita lakukakn?” ucap Sutisna
“tenang – tenang,
kita harus tenang memikirkan ini,” ucap Putra
Eka mulai merayap
meunuju batu itu, sambil menahan dorongan tiupan angin yang kencang. Namun
usahanya terhenti karena sebelum mendekatinya, Kulit Eka melepuh karena senakin
dekat suhunya akan semakin panas. Dia
pun terhenti, Eka berteriak kepada Putra
dan Sutisna untuk membukakan bajunya, namun mereka tidak begitu mendengarnya.
Karena angin yang mulai menguat menghambat gelombang suara yang keluar dari
mulut Eka tidak sampai kepada Putra dan Sutisna. Eka pun terpaksa harus
menggunakan bahasa tubuh untuk mengertikan mereka. Akhirnya Putra dan Sutisna
pun mulai mengerti, lalu mereka membuka bajunya dan merayap untuk memberikannya
kepada Eka. Eka menyobekan buju mereka untuk digunakan menutupi muka, dan kedua
tangannya agar terhindar dari udara panasnya. Setelah Eka selesai membaluti
muka dan tangnnya, lalu dia mulai mencoba merayap menuju batu tersebut sambil
menahan rasa panas yang masih terasa. Semakin
dekat jangkauan Eka dengan batu itu, semakin kencangnya juga hembusan angin
yang meniupnya. Dia terus merayap sambil menahan rasa panasnya, kain baju yang
membalut tangannya mulai sedikit terbakar, Kulit jarinya pun mulai melepuh dan
bola matanya sudah mulai mengering. Hanya pandangan yang sangat buram, Eka
langsung memejamkan matanya sambil memaksakan merayap, namun pada saat Eka
memejamkan matanya. Tiba – tiba terdengar suara yang sama, dia berteriak
seperti mengucapkan sesuatu namun tidak begitu jelas karena kencangnya suara
angin. Eka terus berusaha mempertajam pendengaran, lalu tiba –tiba terlintas
sebuah bayang putih mengilat keluar dari dalam pikirannya yang langsung membuat
pingsan seketika. Putra dan Sutisna hanya berteriak – teriak, “Eka bangun.
Bangun Eka!!”
Lalu Eka terbangun
seperti di dalam sebuah ruangan, sekelilingnya hanya terdapat warna hitam. Lalu
tiba – tiba muncul cahaya bersama seorang pria yang berbadan kekar dan juga
tinggi, dia menunggangi seekor harimau loreng putih datang ke arahnya dengan
pelan. Muka pria kekar itu terlihat siluet, karena cahaya putih yang terang
benderang di belakangnya membuat pandangan Eka tidak jelas. Pria penunggang
harimau itu, turun dari tunggangnya dia langsung mengacungkan tangan kanannya
sambil berteriak “Agni Ambung, Agni
adyapi, Agni angsan”, dia terus mengulang – ngulang kata itu dengan
lantang. Eka seperti terhipnotis, dia tiba-tiba mengikuti kata – kata yang di
ucapkan oleh pria kekar itu di dalam hatinya. Lalu tiba – tiba cahaya putih
yang benderang mulai menyelimuti tubuhnya Eka, ruangan gelapnya sedikit demi
sedikit mulai terkikis oleh cahaya putih. Eka terus – menerus mengucapkan kata
– kata itu.
Putra dan Sutisna tercengang
melihat Eka yang tiba – tiba berdiri tegak, kakinya mulai mengapung. Mata dan
mulutnya terbuka lebar, Lalu keluarlah cahaya putih dari mulut dan matanya.
Munculah benda - benda kecil seperti kelereng, berwarna merah yang keluar dari
batu akik terus menerus. Benda kecil itu membentuk sebuah pola yang rumit.
Polanya mulai menuju ke arah Eka yang belum sadarkan diri dan menyelimuti
hingga menutupi seluruh tubuhnya. Cahaya putih yang keluar dari mata dan
mulutnyapun ikut tertutup perlahan. Putra dan Sutisna hanya terdiam. Seperti
penangkal, cahaya putih itu melawannya, dia terus mendesak agar kelereng –
kelereng tersebut tidak menghalangi jalannya. Sedikit demi sedikit, kelereng
yang menutupi muka Eka, mulai berjatuhan, namun masih terus berusaha menutupi
mukanya. Cahaya putih yang kekuatanya lebih kuat, telah berhasil menolaknya.
Kondisi saat ini hanya dari kaki hingga lehernya saja yang berhasil tertutup
oleh kelereng merah yang jeluar dari batu akkinya. Cahaya putih tersebut tiba –
tiba berubah seperti pecut raksasa, cahaya itu langsung menekan dan berhasil mengahncurkan
pola tersebut hingga terlempar jauh. Namun benda menyerupai kelereng ini masih
bisa berusaha, kelerengnya kembali menyatu untuk membentuk polanya kembali
dengan sangat cepat. Sekarang polanya membentuk lingkaran, lalu keluarlah
sebuah senjata seperti senjata Kujang
dari tengah – tengah lingkaran tersebut. Namun lagi – lagi pola itu
kembali di hancurkan oleh cahaya putih. Pria berjubah yang sedang berlari,
akhirnya sampai menuju ke tempat yang dimana sumber cahaya merah terlihat di
balik bukit pada saat di medan perang. Pria ini muncul dari atas tebing air
terjun, lalu melompat sambil mengeluarkan cahaya birunya kembali dari
tongkatnya. Putra dan Sutisna yang terkejut melihat pria berjubah itu lompat
dari ketinggian, mereka langsung berlari ke belakang pepohonan yang diameter
pohonnya mampu menghalangi tiga sampai empat orang jika mereka berada di
belakangnya. Kali ini cahaya yang keluar dari tongkatnya adalah membentuk
sebuah batu yang yang runcing, batunya mengarah ke arah punggung Eka. Pria itu
tersenyum karena telah menembakan batunya ke sisi yang menurutnya adalah sisi
terlengah. Pada saat batu itu hampir mengenai tubuhnya, lalu Eka dengan cepat
membalikan badannya dan menangkis semua batunya. Setelah itu dia dengan secepat
kilat muncul di hadapan pria berjubah itu dan berteriak mengatakan “Agni Angrem”. Pria tersebut langsung
terpental ke arah dinding dengan sangat kuat, hingga beberapa batu besar
berjatuhan dan membuat dia pingsan. Lalu cahaya putih yang keluar dari tubuh
Eka, membentuk sebuah gada yang teramat besar. Namun dalam proses
pembentukannya, benda kecil yang keluar dari batu akik itu membentuk sebuah
pola lingkaran yang mengeluarkan rante. Rante itu terbang untuk mencegah gada
raksasa itu terbentuk sempurna. Rantenya mengikat gada dan juga Eka, suara
teriakan yang mengerikanpun kembali keluar. Angin menjadi semakin kencang,
hingga pepohonan pun tumbang, dan aliran air terjun menjadi sangat deras,
burung – burung terbang dan bintang di sekitarnya pergi berlarian. Rante itu
terus menarik Eka dan Gada ke arah pola lingkaran itu. Pria berjubah ini, dia
tersadarkan diri. Dia melihat sebuah kejadian yang luar biasa sedang terjadi di
depan matanya. Namun pria ini masih belum menyerah dia, kali ini mengeluarkan
tombak dari tongkatnya. Lalu dia mengenggam tombaknya dengan tangan kirinya,
dan langsung berlari ke arah Eka. Kekuatan yang sangat kuat dari cahaya putih,
berhasil menyerap kekuatan yang keluar dari batu akik. Rantainya malah menyatu
dengan gada tersebut, dan membentuk menjadi sebuah gada yang mengerikan. Lalu
gada itu menyerang pria berjubah, pria berjubah itu lalu dengan cepat
mengeluarkan batu es sama seperti yang di keluarkannya pada saat dia di kejar
oleh para tentara. Namun kali ini tongkatnya mengeluarkan dengan menembakannya
ribuan es yang dengan cepat bersatu dengan kokoh, hingga 10 lapisan tameng. sepuluh
lapis sekaligus untuk melindungi dirinya. Dan pada akhirnya Pertahan itu
berhasil menahan serangan Eka, Gadanya hanya mampu menghancurkan 8 lapis tameng.
Tidak cukup dengan satu serangan, Gada Eka mengambil ancang – ancang untuk
kembali menyerang. Pria berjubah itu kali ini memecahkan tongkatnya dan
langsung mengulurkan telapak tangannya ke arah sungai, raut mukanya mengerut
seperti kesakitan, urat – urat di tangannya mulai timbul, warna rambutna pun
memutih. Keluarlah seperti sebuah benang dari kelima ujung jarinya menuju ke
sungai dengan sangat cepat. Setelah benangnya
menyentuh permukaan air, air sungainya langsung membeku dengan seketika. Tiba –
tiba terjadilah sebuah gempa yang teramat besar, batu – batu dari tebing banyak
yang berjatuhan. Hingga pepohona yang berada di pinggiran tebingpun banyak yang
tumbang. Benang yang membekukan air sungai ini, kali ini membuat sebuah retakan
dahsyat, retakannya lurus meluas dengan sangat cepat mengikuti jalur sungai. Dari
pusat retakannya munculah sebuah tangan raksasa, ukuran jarinyapun setinggi
manusia dewasa. Lebar pergelangannya
setara dengan tujuh buah ekor gajah dewasa. tanganya sedikit demi sedikit mulai
keluar, jari – jarinya mencengkram permukaan sungai yang membeku. Cengkramannya
menenopang seperti berusaha untuk mengeluarkan seluruh tubuhnya dari bawah
tanah. Lalu tidak jauh dari inti retakan itu, munculah lengan satunya lagi.
Kali ini gempanya semakin dahsyat, kali ini seperti ada sebuah dorongan yang
berkali – kali dari bawah tanah. Hingga semua orang – orang disana melompat –
lompat, hingga akhirnya munculah sebuah kepala raksasa. Bentuknya menyerupai
persis manusia normal, namun kedua matanya seluruhnya berwarna putih. Hidung
panjang seperti pinocio. Raksasa itupun berteriak kencang, udaranya mampu
menghasilkan tiupan yang sangat kencang.
Bala tentara yang
mengejar – ngejar pria ini telah sampai di ujung tebing, mereka semua terkaget
dan terdiam sambil menyaksikan kejadian luar biasa yang sedang berlangsung di
bawah. Pola yang keluar dari batu akik merah milik Eka langsung membuat sebuah
rante raksasa, dan langsung mengikat kedua tangan raksasa tersebut. Lalu gada
yang sudah mengambil ancang-ancang, langsung menyerang mengarah ke arah kepala
raksasa. Terdengarlah suara petir, para tentara serentak membuat sebuah
perlindungan dari tanah untuk menutupi dirinya masing – masing. Pria berjubah
itupun, kaget pula hingga bulu matanya terangkat ke atas, matanya melotot
terkejut. Lalu setelah terdengar suara petir, keluarlah aliran ristrik berwarna
hijau memanjang dari angkasa. Listriknya merembet secepat kilat menuju Gada,
dan dengan secepat kilat juga petirnya langsung memecahkan gada hingga
berkeping – keping. Eka pun langsung terjatuh dan tergeletak tak sadarkan diri.
Raksasa itupun langsung melepaskan diri dari ikatan rante yang mengikatnya, dan
langsung membuat senjata yang terbuat dari air sungai yang membeku. Es –es nya
bergabung menjadi sebuah tameng yang di pegang oleh tangan kirinya dan sebuah
pedang yang di pegang oelh tangan kanannya. Lalu petir itu keluar untuk yang
kedua kalinya, dan kali ini listriknya mengarah ke arah si raksasa tersebut.
Namun serang petir itu berhasil terblok oleh tameng esnya. Pria berjubah ini
langsung dia berldiri, kemabli membuat sebuah tongkat. Kali ini terucap dari
mulutnya sebuah mantra aneh, sekarang pria itu memutarkan tanganya untuk
membuat sebuah portal dengan tongkatnya. Setelah portalnya berhasil, lalu
tongkat itu di ketukan ke arah tanah. Munculah rante – rante raksasa dari es,
rantenya langsung mengikat si raksasa itu untuk kembali membawanya ke dasar
tanah. Setelah raksasa itu terikat rantai. Pria berjubah itu langsung pergi
menuju portal dan menghilang seketika. Putra dan Sutisna, mereka tidak bisa
melakukan apapun, hanya menyaksikan di belakang rimbunnya pepohonan sambil
memegang erat. Suara petir ketiga
terdengar, kali ini listriknya mengarah ke arah Eka yang sedang tergeletak. Lalu
para tentara itu serentak keluar dari perlindungannya, para pemanah melontarkan
serangannya ke langit, setelah panahnya berada di udara, setiap panah berubah
menjadi sebuah lumpur, lalu mula – mula mengering dan memadat menjadi sebuah
tameng raksasa yang mengapung. Langitpun menjadi gelap,karena cahaya tertahan
oleh tameng. Para pemegang senjata selain panah, berloncat ke bawah, mereka
membawa Eka, juga menyegel batu akik merahnya, hanya dengan seorang tentara
yang terlihat lebih tua mengeluarkan lumpur dari tangannya. Suara petir
berikutnya muncul dan menghasilkan listrik yang terus mencoba menembus pertahanan
pemanah itu. Serang – serangan petir ini terus menerus mencoba untuk menerobos,
namun para pemanah terus menerus melancarkan busur panahnya ke angkasa untuk
memulihkan pertahannya. Hingga Eka berhasil di bawa lari oleh para tentara itu
jauh dari tempat semulanya, para pemanahpun menghentikan serangannya. Mereka
pun kabur ke arah semula. Lalu listrik petirpun berhasil menembus tameng yang
di buat para pemanah. Namun targetnya telah tiada, pada akhirnya petir itu
mengeluarkan listrik ke arah acak. Banyak pepohonan yang terbakar, para tentara
ini berlarian sambil menghindari serang petir hijau yang terus menerus
menyerang dengan membabibuta.
Putra dan Sutisna
pada saat itu sedang bersembunyi di balik pepohonan, mereka berlari sambil
berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang mendengarnya. Namun tidak
seorang pun yang mendengar teriakannya, karena telinga mereka semua terlalu
berisik dengan suara petir yang tidak habis – habisnya menyambar daratan.
Sutisna yang telah
mencapai batas kelelahannya karena berlari sambil berteriak dengan kuat, dia
tiba – tiba terjatuh. Putra menyadari hal itu, dia langsung mengambil tangan
Sutisna. Namun tepat tidak jauh dari mereka, petir menyambar hingga ledakannya
membuat tanahnya terapung kuat. Mereka berdua ikut terpental jauh, lalu
mendarat ke dalam sebuah gua yang kecil lingkarannya hanya cukup untuk empat
orang, kedalaman luabangnya tidak begitu dalam
juga tidak begitu dangkal. Setelah mereka masuk ke dalam lubang, Putra
sekelibat menyadari kalo lubang tersebut adalah gua kuno yang mungkin telah terjamah
manusia dalam waktu yang sangat lama. Dinding – dindinganya terdapat sebuah
ukiran seperti bahasa yang tidak begitu mereka pahami. Namun polanya seperti
tulisan jawa ke arab - araban. Terdapat banyak coretan purba, di langit –
langit guha dan juga gambar berbentuk tangan berwarna putih, pinggir gambar tersebut
seperti bekas terbakar. Sehingga berwarna hitam gosong. Gambarnya berjumlah
lebih sangat banyak, hampir setiap dinding terdapat gambar tersebut. Saat Putra
masih bingung melihat dinding – dinding yang unik, tiba – tiba ujung guhanya
tertutup dengan sendirinya. Putra berlari untuk coba mengehentikan gerakan
pintu guhanya, namun langkah dia terlalu lambat. Akhirnya mereka berdua
terkurung di guha tersebut dengan gelap – gulita yang kembali menemani mereka.
Hanya terdapat sedikt cahaya yang masuk dari selah – selah pintu. Itupun
mungkin diameternya hanya 1-2 cm.
Keadaan Eka yang saat
ini masih berada di genggangam tentara
pengendali tanah, dia masih dalam kondisi yang belum sadar. Mereka semua masih
berlari ketar – ketir untuk menghindar dari serangan petir. Formasi seperti
sengaja membentuk lingkaran, dan posisi tentara yang sedang menggendong Eka,
tepat berada di posisi paling tengah. Posisi terluar bertugas untuk membuat
sebuah pelindung, untuk menangkal serang petir. Pola mereka membentuk pertahan hampir
sama dengan yang tadi. Formasinya terus berubah, tergantung kondisi. Para
tentara yang bertugas membentuk pertahanan pun terus bergantian. Posisi yang bertanggung jawab membawa Eka silih
berganti tangan.
Serangan demi
serangan terus di lontarkan oleh petir tersebut, hingga para tentara ini mulai
merasakan kelelahan. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi si petir. Kecepatan
lari para tentara ini mulai melemah, formasi mereka agak sedikit merenggang.
Pertahanan yang mereka buat mudah hancur, oleh karena itu sang petir ini
mengmpulkan semua awan tepat di atas posisi formasi mereka. Keadaan langit
semakin gelap, tiupan angin mendadak kencang, tiupannya berhembuas dari arah
berlawan para tentara itu lari. Langkah kaki mereka menjadi semakin berat,
karena harus melawan arus angin. Akhirnya mereka semua berhenti, terdengar
teriakan, terdengar seperti sebuah komando dari salah satu tentara yang sangat
gagah perkasa.
“Dhahamm!” teriakan
dari seorang tentara
Mereka semua otomatis
berkumpul semua melindungi Eka, lalu terdengar sebuah teriakan lagi denga suku
kata yang berbeda.
“dhedher limo”
Para tentara lagsung
berjongkok semua, lalu tentara yang berada di lingkaran terluar memukulkan
senjatanya ke tanah dengan sekuat tenaga, pukulannya berlanjut hingga barisan
kelima dari terdalam. Barisan ke empat dan kelima, mereka hanya memukulkan
dengan tangan kosong ke tanah dengan sekuat tenaga. lalu terbentuk sebuah
benteng berlapis tanah, yang keluar dari bawah yang melingkar hingga menutupi
mereka semua. Benteng membentuk lima lapisan, dengan urutan lapisan paling
dalam adalah lapisan paling tebal. Mereka semua telah sangat siap untuk
menerima hantaman petir yang sangat kuat, meskipun lapisan sangat tebal, namun
suara aliran listrik masih terdengar jelas tepat di atas mereka. Suaranya
seperti sebuah aliran listrik yang sedang berkumpul di satu titik, hanya
tinggal siap – siap saja kapan akan menyerang.
Tidak lama suara
keras telah terjadi, namun para tentara merasa ke anehan. Karena suara
benturannya tidak mengarah ke pertahanan mereka. Namun ketua yang mengomando
mereka menyuruhnya agar tetap dalam
posisi sampai keadaan bisa terkendali. Setelah terdengar suara benturan yang
kencang, tiba – tiba suara aliran listrik itu menghilang. Keadaan menjadi
semakin sunyi.
“apakah keadaan di
luar sudah baik?” terlontar suara pelan, nadanya seperti sedang berbisik dari seorang
tentara yang mukanya terdapat seperti bekas tiga buah luka senjata tajam di
pipi sebelah kirinya. Dari ketiga luka itu, ada satu luka yang sama panjangnya
melintang dari jidat agak sebelah kiri melewati mata kirinya hingga ke hidung.
Mata kiri dia buta.
“tunggu saja, hingga
ketua memberi komando,” di jawab dengan nada yang sama oleh seorang pria di
pinggirnya, rambutnya paling panjang dari semua pria yang sedang berkumpul di
dalam sana.
Sang ketua saat itu
sedang berada di dekat Eka, dia terus memandangi. Ekspresinya wajahnya seperti
sang ayah yang sedang melindungi anaknya. Tiba – tiba suara langkah kaki
terdengar mendekat menuju tempat mereka saat ini sedang berlindung. Sang ketua
bersiap untuk memberi aba – aba. Kali ini pandangannya fokus ke depan. Langkah
kaki terhenti dan tidak terdengar lagi, saat telah berada tepat di dekat
dinding yang mereka buat untuk berlindung. Detak jantung terus berdetak
kencang, genggaman senjata sudah matang di persiapkan. Tidak lama setelah itu
serangan kejutanpun akhirnya di lakukan oleh seseorang yang berada di luar
pelindung. Hantamannya sangat keras, dan begitu cepat. Hingga sang ketua yang
sedang memprediksikan serangan pun gagal. Tembok yang mereka buat kali ini
ancur berkeping – keping, seolah – olah pertahannya tidak berguna. Ledakannya
membuat semua formasi berhamburan. Eka pun terlemar, namun sebuah petir yang
keluar dari tangan seseorang itu berhasil membentuk sebuah tambang, lalu
melilit sekujur tubuh Eka. Lalu menariknya, untuk saat ini yang menguasai raga
Eka adalah seseorang yang berambut panjang hitam, dan berkulit putih, dia hanya
mengenakan celana yang bahannya masih belum di ketahui. Namun seperti sisik
ular berwarna hijau, serat – seratnya
terus menyala dari sumber aliran listrik petir dari tubuhnya. Badannya
terlihat seperti melihat seorang binaragawan, ototnya menonjol pada tempatnya
masing – masing. Terdapat sebuah luka seperti tebasan pedang di dada sebelah
kanannya. Sepertinya dia adalah seorang petarung yang tangguh. Kedua lengannya
sama – sama mengginakan gelang berwarna hijau, berbahan seperti besi namun
terlihat sangat mengkilap. Terdapat motif ukiran yang tidak asing lagi,
jenisnya seperti Pa’barre Allo. Yang biasa di temukan di suku adat Toraja. Di
gelang sebelah kanannya seperti tertanam batu akik berwarna hijau yang terang. Mukanya
terlihat sangat anggun dan berkarisma, mulutnya terus tersenyum dengan mata
tertutup. Seolah – olah dia hadir untuk berdamai, tidak ada satupun kecacatan
pada mukanya, terlihat sangat begitu bersih. Dia pun pergi membawa Eka yang
saat ini masih belum sadar, sang ketua yang terpental dan para tentaranya hanya
berbaring dan tidak bisa berbuat apa – apa.
Ketua yang sedang menyaksikan kejadian
tersebut, lalu mengatakan dengan pelan.
“Maha Adsumat,”